REPUBLIKA.CO.ID, Kalau dibandingkan dengan Eropa pada Abad Pertengahan, toleransi yang dijalankan penguasa Muslim jelas lebih unggul. Hal ini bukanlah klaim semata.
Reza Shah-Kazemi melalui karyanya, The Spirit of Tolerance in Islam, menjelaskan, Kesultanan Utsmaniyyah (Ottoman) melindungi komunitas Yahudi.
Sebaliknya, di daerah-daerah yang dikuasai kerajaan-kerajaan Kristen Eropa, anti-semitisme sangat kuat terjadi. Bahkan, kaum Yahudi juga menjadi incaran persekusi kelompok-kelompok fanatikus Kristen.
Pemuka Yahudi pun mengakui besarnya perlindungan penguasa Muslim. Sebagai contoh, Reza mengutip surat Rabbi Isaac Tzarfati kepada Dewan Yahudi Eropa Tengah. Tokoh Yahudi itu berhasil menyelamatkan diri dari persekusi di Eropa Tengah dan tiba di wilayah Ottoman menjelang 1453 M.
Melalui suratnya, pria kelahiran Jerman itu memuji Turki sebagai “negeri yang dirahmati Tuhan dan penuh kebaikan.” Selanjutnya dia mengaku, “Di sini (aku) menemukan kedamaian dan kebahagiaan […] Kami (kaum Yahudi) tidak ditindas dengan pajak yang berat, perniagaan kami dapat berlangsung bebas. Setiap kami dapat hidup dalam damai dan kebebasan.”
Contoh lainnya dari makna toleransi ala Islam ditunjukkan Ottoman dari Turki. Reza mengutip pendapat beberapa sejarawan yang menyatakan, selama hampir tujuh abad (1280-1924), Kesultanan Ottoman menjadi negeri yang amat multikultural dan multi-agama.
Baca juga, Jangan Ragukan Toleransi Islam, Barat Pun Mengakuinya
Di dalamnya, pelbagai komunitas beda agama dan budaya hidup berdampingan, bekerja sama, dan saling toleran satu sama lain. Rumah-rumah ibadah kaum Muslim, Kristen, dan Yahudi berdiri berdekatan.
Demikian pula dengan pusat-pusat studi masing-masing pemeluk agama. Kemajemukan itulah yang memperkaya khazanah dan peradaban negeri ini.
Dinasti Ottoman adalah contoh klasik tentang bagaimana seharusnya masyarakat yang plural. Di dalam negeri (daulah) Islam itu, orang-orang non-Muslim juga berhak menikmati pelbagai fasilitas publik, semisal sekolah, rumah sakit, perpustakaan, dan peradilan terbuka.
Semangat toleransi antarumat beragama tercermin dalam aturan perundang-undangan, terutama sejak era sang penakluk Konstantinopel, Sultan Mehmet II (1451-1481). Setiap komunitas agama diizinkan untuk memerintah secara otonom (self-government). Sebagai imbalannya, mereka diharuskan membayar pajak jizyah yang besarannya variatif.
Mengutip pemaparan Imam al-Mawardi dalam Ahkam Sulthaniyah, jizyah ditetapkan atas golongan ahli kitab, yakni orang Yahudi dan Kristen, serta kaum Majusi yang statusnya disamakan dengan keduanya.
Para ahli fiqih masih berbeda pendapat tentang ukuran jizyah. Bagaimanapun, Abu Hanifah membagi orang-orang yang terkena jizya ke dalam tiga kelompok sesuai kemampuan materinya, yakni kelas kaya, kelas menengah, dan kelas fakir miskin.
Kelompok pertama hingga ketiga berturut-turut mesti membayar per tahun 48 dirham, 24 dirham, dan 12 dirham. Menurut Yusuf Qardhawi dalam Fiqih Jihad, besaran itu tidak begitu besar bila dibandingkan manfaat yang diperoleh mereka, yakni perlindungan penuh atas kebebasannya beragama.
Lagipula, kaum Muslim pun ikut diwajibkan membangun negara melalui zakat, baik atas harta, aset, ternak, pertanian, maupun buah-buahan yang dimilikinya.
Mengutip sejarawan Barat, Adam Mertz, jizyah menyerupai pajak pertahanan negara. Oleh karena itu, kaum wanita, anak-anak, orang buta, penyandang disabilitas, pendeta yang terus menerus beribadah di gereja, dan orang kehilangan akal tidak dibebani dengan jizyah.