REPUBLIKA.CO.ID, Toleransi berarti menenggang pendirian yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Khotimah dalam artikelnya pada Jurnal Ushuluddin (2013) menjelaskan, istilah bahasa Arab untuk kata toleransi adalah at-tasamuh, yang berarti ‘bermurah hati’.
Dalam konteks hubungan antarumat beragama, toleransi bermakna membiarkan situasi tetap tenang dan rukun, sehingga setiap orang dapat menjalankan ibadah atau ajaran agamanya masing-masing tanpa disertai konflik.
Prinsip serupa sesungguhnya juga berlaku di internal umat suatu agama. Perbedaan antar-mazhab, umpamanya, seyogianya dihadapi dengan penuh toleran agar tidak menjurus pada kekerasan.
Toleransi mengandaikan kemajemukan di tengah masyarakat. Alquran telah mengisyaratkan adanya kuasa Allah SWT di balik fakta tersebut. Misalnya, surah Yunus ayat 99 yang artinya, “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” Maka dari itu, tidak ada gunanya memaksakan penyeragaman (homogenisasi) karena keberagaman justru merupakan sunnatullah yang sepatutnya disyukuri.
Sepanjang sejarah, sikap toleran sudah mewarnai hubungan antara kaum Muslimin dan non-Muslim. Sir Thomas Walker Arnold dalam The Preaching of Islam. A History of Propagation of the Muslim Faith mengomentari besarnya penghargaan Islam terhadap prinsip toleransi.
Bahkan, menurutnya, kaum non-Muslim menikmati toleransi yang begitu besar di bawah aturan penguasa Muslim. Padahal, di saat yang sama, Eropa masih belum mengenal toleransi sama sekali. Barat baru menyemarakkan tenggang rasa antar-dan-internal umat beragama belakangan ini pada zaman modern.
Lebih lanjut, Sir Thomas mengungkapkan, ketika berabad-abad lamanya dinasti-dinasti Muslim berkuasa, banyak sekte Kristen yang dibiarkan hidup, berkembang, dan bahkan dilindungi aturan negara.
Amat jarang kasus persekusi yang dilakukan orang Islam terhadap komunitas non-Muslim. Menurut orientalis Inggris tersebut, keyakinan yang diajarkan Alquran, “Tidak ada paksaan dalam agama” berperan amat penting.
Reza Shah-Kazemi melalui karyanya, The Spirit of Tolerance in Islam, mengemukakan beberapa dinasti yang menunjukkan pentingnya toleransi dalam peradaban Islam. Ambil contoh Kekhalifahan Abbasiyah yang mempersembahkan kepada peradaban dunia Bait al-Hikmah.
Perpustakaan itu dibesarkan Sultan Harun al-Rasyid di Baghdad. Di dalamnya, berlangsung kegiatan-kegiatan ilmiah, mulai dari penerjemahan teks-teks asing ke dalam bahasa Arab hingga riset dan observasi. Sang sultan mengedepankan prinsip toleransi dan meritokrasi di atas identitas.
Buktinya, dia mengangkat I’yan Syu’ubi, seorang Persia yang anti-Arab, sebagai kepala perpustakaan. Hal itu disinggung Prof Abdul Hadi WM dalam Cakrawala Budaya Islam. Tidak sedikit pula orang Yahudi yang bekerja sebagai penerjemah teks-teks Yunani Kuno ke bahasa Ibrani dan Arab di Bait al-Hikmah. Ada juga sarjana-sarjana dari India yang aktif berkontribusi di sana.