REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pesantren dan Lembaga Keagamaan telah disetujui menjadi RUU usul insiatif DPR RI di dalam rapat paripurna Selasa (16/10). Salah satu pengusul RUU tersebut dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ledia Hanifah Amalia menjelaskan urgensi diundangkannya RUU tersebut lantaran masih ada anggapan yang menilai pesantren bukan suatu pendidikan formal.
"Padahal mereka memberikan kontribusi yang sangat besar buat pembangunan karakter dari sejak zaman sebelum kemerdekaan mereka sudah berdiri," kata Ledia saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (17/10).
Selain itu ia mengatakan selama ini memang belum ada peraturan yang mengatur terkait lembaga keagamaan secara total. Salah satunya seperti sulitnya mengurus izin mendirikan pesantren dan pembentukan lembaga yang berbadan hukum. "Bukan tidak mungkin pesantren-pesantren kecil kalau pakai badan hukum itu namanya enggak boleh sama, nama yayasan juga enggak boleh sama dan sebagainya. Ini nanti akan menyulitkan tumbuh kembangnya pesantren," ujar anggota Komisi X tersebut.
Yang kedua, Ledia menambahkan terkait alokasi anggaran untuk pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan diakui memang masih belum memadai. Alokasi keluar masuk anggaran ke pesantren juga perlu diatur. Ia menuturkan selama ini pesantren hidup dengan biaya sendiri dan biaya masyarakat. Adanya kontribusi dari negara itu akan menjadi satu hal yang penting.
"Jadi kalau memang mau memberikan bantuan tentu ada basisnya. Basisnya kegiatannya apa, kemudian alokasi anggarannya untuk apa dan itu apakah sejalan dengan program pemerintah atau tidak," tuturnya.
Kemudian ia berharap RUU tersebut bisa membuat standar ukuran agar stigma negatif terhadap pesantren bahwa yang diajarkan pesantren bertentangan dengan agama tidak ada lagi. Menurutnya perlu ada aturan yang jelas.
"Selama ini //kan enggak ada (aturan), kita khawatir nanti kemudian tanpa ada aturan itu semua orang dengan mudahnya melabel padahal itu tidak terjadi sebenarnya di situ, sehingga akhirnya menjadi pembunuhan karakter yang akhirnya tidak ada yang bertanggung jawab di dalamnya," ungkapnya.
Ledia mengungkapkan bahwa saat ini DPR masih menunggu siapa yang akan ditunjuk pemerintah untuk bertanggung jawab di dalam pembahasan RUU tersebut. Setelah ada baru kemudian diputuskan akan dibahas di badan legislasi, Komisi VIII, atau di Panitia Khusus (Pansus).
"Setelah itu baru pembahasan tingkat I bahas dengan pemerintah per pasal. Kalau sudah selesai baru kita sampaikan ke paripurna untuk pembahasan tingkat II persetujuan baik dari pemerintah maupun dari DPR untuk kemudian diundangkan. Jadi memang masih agak panjang tahapannya," jelasnya.