Rabu 17 Oct 2018 16:21 WIB

Jangan Memperolok Orang Lain

Terdapat kesombongan dan penghinaan dalam sikap tersebut.

Praktik bullying oleh siswa di sekolah (ilustrasi)
Foto: BULLY.CA
Praktik bullying oleh siswa di sekolah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Status sosial dan kedudukan tertentu terkadang menggoda seseorang atau sekelompok orang merendahkan orang lainnya. Mereka memperolok serta mencela orang yang dianggapnya lebih rendah atau tak sepadan. Sebab, mereka menganggap dirinya lebih tinggi dibandingkan orang lain.

Seorang Muslim yang mengenal Allah SWT dan berharap kehidupan bahagia di akhirat, jelas cendekiawan Muslim, Yusuf al-Qaradhawi, tak boleh memperolok orang lain dan menjadikannya sebagai objek permainan. Ada unsur kesombongan dan penghinaan terhadap orang lain dalam sikap tersebut,” katanya.

Menurut dia, Allah menegaskan agar tak memperolok kaum lain sebab barangkali mereka yang direndahkan itu lebih baik. Jangan pula, perempuan memperolok perempuan lainnya karena bisa saja perempuan yang diperolok itu lebih baik daripada perempuan yang memperoloknya.

Al-Qaradhawi menjelaskan, dalam pandangan Allah, orang baik adalah mereka yang beriman, ikhlas, dan menjalin hubungan baik dengan Tuhannya. Mereka bukan dinilai dari rupa, kedudukan, status sosial, bentuk tubuh, maupun kekayaan. Menurut Rasulullah, Allah tak melihat rupa dan kekayaan, tetapi Allah melihat hati dan amalan.

Dalam sebuah riwayat, Ibnu Mas’ud pernah membuka kain yang menutup bagian kakinya. Terlihat betis Ibnu Mas’ud kecil sekali. Pemandangan itu menggelitik sebagian sahabat yang berada di sekelilingnya saat itu terbahak. Rasulullah tak membiarkan begitu saja kejadian itu. Ia segera merespons dan bersikap tegas.

Apakah kamu menertawakan kecilnya betis Ibnu Mas’ud? Demi Allah, yang diriku dalam kekuasaan-Nya bahwa kedua betisnya itu timbangannya lebih berat daripada Gunung Uhud,” jelas Nabi Muhammad SAW dalam hadis yang diriwayatkan oleh Thayalisi dan Ahmad yang dikutip al-Qaradhawi dalam bukunya Halal dan Haram.

Sering kali juga lidah tak terkendali dan terlontar celaan. Saat seseorang mencela orang lain, diibaratkan menghujamkan pedang ke tubuh orang yang dicelanya itu. Tapi, tikaman itu lebih menyakitkan daripada pedang sesungguhnya. Al-Qaradhawi menuturkan, tikaman melalui ketajaman lidah menorehkan luka yang begitu dalam.

Lebih jauh al-Qaradhawi mengatakan, yang masuk dalam kategori ini adalah menyematkan gelar atau panggilan tak baik pada orang lain. Dipanggilnya orang lain dengan gelar yang tak menyenangkan dan menjengkelkan. Jika dibiarkan, hal ini akan melahirkan permusuhan dan perpecahan.

Imam al-Ghazali menuturkan, saling mencintai disyariatkan dan merupakan dorongan agama. Maka, Muslim diminta untuk saling membimbing dan mencintai satu sama lainnya. Salah satu bentuknya adalah memanggil seseorang dengan nama kesayangannya, bukan gelar tak terhormat, baik saat hadir maupun tidak.

Pada sebuah kesempatan, Umar mengatakan ada tiga jalan yang bisa dilakukan seorang Muslim untuk menunjukkan cinta persaudaraan yang tulus. Berilah sambutan hangat saat bertemu, membuatnya merasa senang, dan panggillah dengan nama kesayangannya. Sebut juga, jelas al-Ghazali, sifat-sifat baiknya.

Semua itu, tentu saja dilakukan tanpa menyertakan kebohongan di dalamnya. Dalam bukunya, Terampil Bersahabat dengan Siapa Saja, al-Ghazali mendorong agar Muslim membela saudaranya saat ada orang lain yang memperolok, menghina, atau mencelanya baik secara terang-terangan maupun dalam bentuk sindiran.

Rasulullah menyatakan, Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Seorang Muslim tak akan berbuat salah kepada saudara Muslimnya itu, meninggalkannya, bahkan mengkhianatinya. Jadi, merupakan sebuah pengkhianatan bila seseorang membiarkan kehormatan saudaranya dikoyak,” jelas al-Ghazali.

Demi mewujudkan keharmonisan, Islam pun melarang Muslim memata-matai (tajassus) saudaranya. Dengan langkah ini, seseorang akan mencari-cari aib dan cela orang lain kemudian menyebarkannya. Biasanya, jelas Yusuf al-Qaradhawi, memata-matai akan melahirkan sikap berburuk sangka.

Setiap orang, jelas dia, memiliki kehormatan diri yang tak boleh dinodai dengan tajassus meskipun berbuat dosa yang dilakukannya secara tersembunyi. Rasul menilai mencari aib orang lain termasuk perbuatan orang munafik. Mengenai hal ini, beliau pernah naik ke mimbar dan menyeru dengan suara yang keras.

Hai semua orang yang telah menyatakan beriman dengan lidahnya, tetapi iman itu belum sampai ke dalam hatinya! Janganlah kamu menyakiti orang-orang Islam dan jangan kamu menyelidiki cacat-cacat mereka.” Demikian ditekankan Rasulullah dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement