REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- ‘Salam’ memiliki makna mendalam. Tak sekadar ucapan sapaan saat satu sama lain saling bertatap muka. Salam, dalam Islam, berarti sebuah untaian doa yang dipanjatkan untuk sesama Muslim. Doa agar kedamaian, kesuksesan, dan keselamatan senantiasa diberikan.
Ada banyak hal yang ternyata bisa dilakukan untuk lebih menyempurnakan pengucapan salam. Beberapa di antaranya pernah dicontohkan oleh para sahabat dan men dapat pengakuan Rasulullah. Dalam Buku Adab Islamiyyah, Dr Abd Al hamid bin Abdurrahman As Sahibani menguraikan perihal perkara apa saja yang dapat melengkapi anjuran mengucapkan salam tersebut.
Hal pertama yang penting diperhatikan dalam tuntunan membudayakan salam (ifsya’ as salam) ia lah berjabat tangan dan berpelukan bila intensitas pertemuannya jarang terjadi. Misalnya, salah satu pihak atau keduanya pulang dari bepergian jauh.
Dalam sebuah riwayat, Anas bin Malik RA mengisahkan, bila para sahabat Rasulullah SAW saling bertemu, mereka lantas mengucapkan salam sembari berjabat tangan erat. Dan ketika mereka jarang bertemu, entah sebab bepergian atau suatu hal, mereka selain berucap salam juga saling berpelukan. Atas dasar ini, sebagian ulama berpendapat hukum berpelukan (mua’naqah) adalah sunat.
Kedua, keutamaan yang dianjurkan ketika salam ialah menyampaikannya dengan utuh. Tidak hanya berhenti pada lafal ‘assalamualai kum’, tetapi dibaca lengkap hingga kata ‘wabarakatuh’. Seorang sahabat, seperti dinukil dari hadis riwayat Amran bin Hushain, pernah datang kepada Nabi, dan mengucapkan, “Asalamualaikum”, Rasulullah menjawabnya dan bersabda, “Sepuluh (kebaikan).”
Lalu, sahabat yang lainnya datang dan mengucapkan salam dengan redaksi, “Assalamu’alaikum wa rahmatullah”. Sama dengan sahabat yang pertama, ia mendapatkan ja waban salam lengkap. Hanya saja, Rasulullah memberinya nilai 20 kebaikan.
Belum lama kemudian, ha dir pula sahabat lainnya. Kali ini, salam yang ia ucapkan utuh hingga lafal ‘wa barakatuhu’. Ia mendapat jawaban sebagaimana dua sahabat sebelumnya. Tetapi, nilai yang ia per oleh dari Rasulullah berbeda sen diri. Angka pahalanya mencapai 30 kebaikan.
Ketiga, jika khalayak objek dari salam adalah komunitas Muslim, hen daknya menghindari redaksi salam yang mencantumkan kata ‘ala mainttaba’al huda’ (atas siapa saja yang mengikuti petunjuk). Penggunaan kata itu tidak patut untuk orang yang telah berikrar syahadat.
Hal ini karena salam dengan lafal demikian oleh Rasulullah hanya dipergunakan untuk pihak non-Muslim. Nabi pernah menggunakannya dalam surat-surat yang dikirim ke sejumlah raja, misalnya Hercules, penguasa Romawi.
Keempat, bagi seorang Muslim, ungkapan penyambutan tidak cukup dengan bahasa dan isyarat tubuh. Salam tidak dapat tergantikan dengan, misalnya, mengangkat topi atau melipat dan meletakkan tangan di atas dada. Atau, dengan menundukkan kepala seraya melambaikan telapak tangan sebagaimana yang dilakukan kaum Yahudi. Tindakan seperti ini tidak dianjurkan sama sekali oleh Rasulullah, seperti dikutip dari hadis riwayat Jabir bin Abdullah.
Namun, ada pengecualian kasus dalam poin ini. Penggunaan isyarat diperbolehkan bagi mereka yang ber halangan dan tak mampu melafalkannya. Misalnya, saat tengah melakukan shalat atau yang bersangkutan mengalami kebisuan. Dalam kasus seperti ini, menurut Dr Abd Al hamid bin Abdurrahman As Sahi bani, tidak jadi soal memberi isyarat sebagai bentuk jawaban salam.
Kelima, membiasakan diri untuk mengucapkan salam pada semua golongan umur, tidak cuma terbatas pada kalangan dewasa, tetapi juga para anak-anak dan remaja. Lang kah ini dinilai akan memberikan edu kasi dan pembiasaan untuk me reka agar membudayakan salam. Anas bin Malik mengatakan, Rasulullah kerap menyampaikan salam ketika berpapasan dengan anak kecil.
Dr As Sahibani juga mengingatkan, sebaiknya tidak mendahului pengucapan salam kepada non- Muslim. Hal ini karena tindakan itu mendapat perhatian serius Rasuullah. Mengawali salam kepada non- Muslim temasuk hal yang dilarang. “Janganlah engkau sekalian memulakan salam bagi Yahudi dan Nasrani,” sabda Rasulullah.