REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Zainut Tauhid Saadi, mengatakan perlakuan terhadap jenazah korban gempa dan tsunami secara syariah bisa berpedoman terhadap Ketentuan Fatwa MUI tentang Pengurusan Jenazah (Tajhiz Al Janaiz). ''MUI banyak mendapat pertanyaan dari masyarakat tentang bagaimana mengurus jenazah dalam keadaan darurat. Terdapat ketentuan 'Tajhiz Al Janaiz' dalam kondisi darurat," katanya saat dihubungi dari Jakarta, Senin.
Merujuk pada ketentuan tersebut, ia menambahkan pada dasarnya dalam keadaan normal mayat wajib dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dikuburkan menurut tata cara yang telah ditentukan menurut syariat Islam. Dalam keadaan darurat dan penanganan jenazah tidak mungkin memenuhi ketentuan syariat itu, maka pengurusan jenazah dilakukan sesuai keadaan di lapangan.
Dia mencontohkan saat memandikan dan mengkafani, jenazah boleh tidak dimandikan. Akan tetapi, apabila memungkinkan sebaiknya diguyur sebelum penguburan. Pakaian yang melekat pada mayat atau kantong mayat, lanjutnya, dapat menjadi kafan bagi jenazah yang bersangkutan walaupun terkena najis.
Dalam menshalatkan mayat, kata Zainut, jenazah boleh dishalati sesudah dikuburkan walaupun dari jarak jauh melalui shalat ghaib dan boleh juga tidak dishalati menurut pendapat yang kuat.
Ia melanjutkan dalam menguburkan jenazah pada keadaan darurat, mayat korban wajib segera dikuburkan. Jenazah boleh dikuburkan secara massal dalam jumlah yang tidak terbatas, baik dalam satu atau beberapa liang kubur dan tidak harus dihadapkan ke arah kiblat.
Penguburan secara massal tersebut, tambahnya, boleh dilakukan tanpa memisahkan jenazah laki-laki dan perempuan juga antara Muslim dan non-Muslim. ''Jenazah boleh langsung dikuburkan di tempat jenazah ditemukan,'' kata dia.