Senin 01 Oct 2018 15:00 WIB

Islam Beri Perhatian Penyandang Disabilitas

Pentingnya kasih sayang dan memuliakan sesama ini juga ditekankan oleh Rasulullah.

Pekerja menyelesaikan jalur difabel di Wiswa Atlet, Kemayoran, Jakarta, Selasa (25/9).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Pekerja menyelesaikan jalur difabel di Wiswa Atlet, Kemayoran, Jakarta, Selasa (25/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kehadiran mereka dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Bahkan, tak jarang kurang begitu diharapkan. Mereka adalah para penyandang difabel. Sering kali para penyandang cacat itu mendapat perlakuan diskriminatif dan dianggap merepotkan. Kondisi ini tentunya tak boleh dibiarkan.

Apalagi, jumlah mereka cukup besar. Kementerian Kesehatan mencatat, pada 2011 diperkirakan jumlah penduduk dengan difabel mencapai 3,11 persen dari populasi penduduk. Kurang lebih totalnya ada 6,7 juta jiwa. Tetapi, bila merujuk pada standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) PBB, jumlahnya bisa membengkak menjadi 10 juta jiwa. Ini lantaran, definisi dan kriteria penyandang difabel itu lebih ketat.

Menurut Guru Besar Fakultas Syariah Universitas Afrika Internasional, Sudan, Prof Ismail Muhammad Hanafi, para penyandang difabel tersebut—termasuk para orang lansia dan jompo—memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Karena itu, dalam makalah yang berjudul “Daur ad-Daulah fi Ri’ayat Dzawi al-Hajat al-Khassah fi al-Islam”, negara memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk memperhatikan dan mengurus mereka.

Ia mengatakan, Islam memandang para penyandang difabel sebagai entitas yang wajib diperhatikan karena beberapa alasan kuat. Paling mendasar ialah atas nama kemanusiaan. Satu fakta yang tak bisa dimungkiri bahwa mereka sama-sama makhluk Allah SWT yang wajib dihormati. Apalagi, para penyandang tersebut juga manusia yang dimuliakan oleh Allah. “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam.” (QS al-Israa [17] : 70).

Pentingnya kasih sayang dan memuliakan sesama ini juga ditekankan oleh Rasulullah. Dalam sebuah hadis riwayat Abu Dawud, Nabi menegaskan bahwa mereka yang saling mengasihi akan disayang oleh Allah. Karenanya, hendaklah saling menebar kasih sayang untuk segenap penduduk bumi agar para penghuni kahyangan berbalik mengasihi mereka.

Dari sisi persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyyah), mereka juga pada hakikatnya adalah saudara dari satu garis keturunan, yaitu Adam. Persaudaraan ini akan semakin bermakna jika diperkuat dengan saling tolong-menolong. Di sisi lain, bila yang bersangkutan adalah Muslim maka penekanannya akan bertambah. Sebab, ia juga merupakan saudara seiman. Maka, iman tersebut akan semakin sempurna dengan saling cinta-mencintai dan kasih-mengasihi. Perwujudannya, lewat saling tolong-menolong. (HR Muslim)

Memperhatikan para penyandang difabel dikategorikan pula seba gai bentuk perbuatan baik yang diperintahkan Allah. “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (QS an-Nahl [16]: 90). Ini di tegaskan pula dalam hadis Rasulullah yang menyatakan bahwa Allah telah menetapkan pentingnya kebajikan dalam segala hal. (HR Muslim). Apa lagi, bila yang bersangkutan tengah diliputi kondisi yang tak mengenakkan dan serba kesulitan. Maka, bila ia teledor dan lalai mem perhatikannya maka seperti yang ditegaskan sebuah hadis, ia tak berhak atas perlindungan Allah.

Pemerintah

Prof Ismail mengatakan, pemerintah dituntut memperhatikan dan memberdayakan para penyandang difabel. Tanggung jawab ini seperti yang ditegaskan pada banyak teks syariat. Misalnya, soal tanggung jawab pemerintah untuk mengurus dengan baik para warganya. Ini sesuai dengan hadis riwayat Bukhari- Muslim.

Di satu sisi, katanya, perhatian pemerintah juga mesti diprioritaskan untuk mereka. Suatu saat, Abu Maryam al-Azdi, pernah berpesan satu hadis kepada Mua’wiyah. Hadis itu berisi ancaman bagi pemimpin yang lalai memenuhi kebutuhan para penyandang difabel. Riwayat ini dinukilkan dari Abu Dawud dan at-Tirmidzi.

Seperti apakah bentuk perhatian yang mesti diberikan pemerintah kepada mereka? Kembali, Prof Ismail memaparkan, pemerintah dituntut aktif melakukan upaya sosialisasi dan langkah penyadaran masyarakat untuk berinteraksi dengan baik terhadap penyandang difabel. Rendahnya kesadaran dinilai menjadi penghambat bagi upaya pemberdayaan mereka. Ini sesuai dengan kaidah fikih, “mencegah lebih baik daripada mengobati” (ad-daf’u ‘aqwa min ar-raf’i).

Pemerintah berkewajiban pula membuka akses pendidikan bagi para penyandang difabel. Pendidikan adalah salah satu instrumen pen ting untuk memperbaiki taraf kehi dupan mereka. Sulit meningkatkan kesejahteraan mereka tanpa memberikan pendidikan yang laik.

Ini sejalan dengan kaidah yang berbunyi, “Bila sebuah tujuan tidak sempurna dengan melaksanakan perkara tersebut maka itu menjadi wajib dieksekusi.(ma la yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib). Di samping pendidikan, juga penting memberikan kehidupan yang pantas.

Prof Ismail menambahkan, pemerintah hendaknya mendirikan lem baga atau instansi khusus yang melayani mereka. Umar bin Abdul Aziz pernah menulis instruksi kepada pejabat Syam. Ia memerintahkan agar para tunanetra, pensiunan, atau sakit, dan para jompo didata sedemikian rupa untuk memperoleh tunjangan. Instruksi ini dijalankan dengan baik.

Bahkan, konon, sejumlah tunanetra memiliki pelayan yang menemani setiap waktu. Kebijakan yang sama juga ditempuh oleh al-Walid bin Abdul Malik. Sementara, Abu Ja’far al- Manshur mendirikan rumah sakit khu sus untuk penyandang cacat di Baghdad.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement