Kamis 20 Sep 2018 18:24 WIB

Menjadi Pribadi Matang

Figur yang dewasa akan urung murka, misalnya tatkala emosinya memuncak.

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Umat Islam saat beribadah di Masjid Lautze, Sawah Besar, Jakarta (ilustrasi)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Umat Islam saat beribadah di Masjid Lautze, Sawah Besar, Jakarta (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Prof Ahmad Hasan dalam artikelnya yang ber judul “Samat ar Rajulah fi al-Islam” mengatakan bahwa hakikat kedewasaan seseorang adalah kematangan emosional yang tercermin pada tiap perbuatannya. Dewasa bukan proses rekayasa. Tetapi, merupakan hasil capaian dari rentetan tahapan.

Ini penting. Acap kali seseorang memaksakan diri ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa ia telah dewasa. Padahal, di saat bersamaan, justru tindakannya itu merusak esensi kedewasaan.

Lantas, apa sajakah kriteria dan ciri yang bisa dijadikan acuan untuk mengukur kedewasaan seseorang? Paling tidak, karakter umum sehari-hari yang tampak dari perilaku lahirnya.

Prof Hasan menguraikan beberapa tanda-tanda kedewasaan, antara lain yang pertama, penguasaan dan kontrol diri yang kuat (al-iradah wa dhabth an-nafsi). Sifat ini adalah fondasi utama bagi kematangan pri badi seseorang. Dengan sifat ini, mereka yang bisa mengontrol dan menguasi diri akan menahan dari se gala amarah, nafsu, dan hasrat duniawi.

Figur yang dewasa akan urung murka, misalnya tatkala emosinya memuncak. Di sini akan tampak kearifan dan kebijakannya. Dewasa bukan diukur dari respons dan reaksi dengan kekerasan sebagai bentuk penyikapan perlawanan atas apa pun yang ia tidak kehendaki. Melainkan orang yang bijak adalah mereka yang berhasil menaklukkan nafsunya.

Lagi-lagi, kemampuan menahan emosi dan memilih bersikap bijaksana itulah ciri pribadi yang bertakwa. Ini sebagaimana ditegaskan ayat berikut, “Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS Ali Imran [3]: 135).

Sebuah hadis menegaskan, kekuatan orang bukan ditimbang dari kepiawaiannya berkelahi, tetapi para jawara yang sejati ialah mereka yang mampu menguasai dirinya saat murka. Kebanggaan tidak dinilai dari kekuatan otot, tetapi kematangan.

Kedua, cita-cita dan kemauan yang tinggi. Sebuah pepatah mengatakan, cita-cita itu adalah separuh dari kepribadian (al-himmah nishf almuru’ah). Jika kemauan dan cita-cita itu kuat maka sangat memengaruhi kesuksesan seseorang.

Sebaliknya, orang yang tak berkepribadian matang, maka ia tak memiliki ambisi dan keinginan yang tinggi. Ia akan merasa cukup dengan pencapaian yang telah diraihnya. Ia akan tenggelam dalam rutinitas yang terkadang melenakan banyak orang. Potensinya tak terjamah maksimal.

Ketiga, kesopanan, kehormatan, dan kebanggaan. Figur yang dewa sa tak akan gentar dan takut meng hadapi kenyataan. Baik realita me ngenakkan ataupun buruk sekali pun. Keberanian dan ketegarannya mengalahkan rasa tukut di benaknya. Rasa takut ini merupakan salah satu musuh utama dalam Islam. Konon, para generasi gemilang awal Islam meletakkan keberanian sebagai penopang kemajuan peradaban Islam. Rasul pernah menyatakan, seburuk perangai yang ada di sosok lelaki ialah kebakhilan yang menjerat dan ketakutan yang mencerai-beraikan.

Keempat, konsistensi dan kete guhan memegang komitmen atau janji. Ia memiliki tanggung jawab besar atas kepercayaan yang diberikan ke padanya. Rasul adalah teladan paling tepat untuk menggambarkan figur yang konsisten dan berkomitmen. Pada peristiwa penaklukkan Makkah, Rasul mengembalikan kunci Ka’bah kepada Utsman bin Thalhah. “Ini dia kuncimu wahai Utsman, hari ini adalah hari kebaikan dan menepati janji,” titahnya.

Prof Mahmud al-Qal’awi, menambahkan satu ciri penting yang ber kaitan dengan kedewasaan se seorang. Menurutnya, dalam artikel yang berjudul “Ramz ar-Rajulah”, tan da orang yang berkepribadian ma tang ialah kebaikan hatinya. Ia akan senantiasa tulus dan terbuka memberikan pertolongan kepada me reka yang membutuhkan.

Tetap rendah hati, tidak angkuh, dan men jaga hubungan dan komunikasi baik antarsesama. Bahkan, kebaikan yang ia tebar itu bersifat universal dan bermanfaat bagi alam semesta. Rasulullah adalah sebaik-baik te ladan.

Suatu saat, seperti diceritakan oleh sahabat Ana bin Malik, Rasul pernah keliling Madinah malam hari. Penduduk setempat dikejutkan dengan keramaian di hening malam di suatu lokasi. Mereka segera menuju ke sumber suara dan saling bertanya, apa gerangan yang telah terjadi?

Rasulullah menegur warga. “Kalian tidak memimpin dengan baik.” Rasulullah berada di atas kuda Thalhah tanpa penerangan dan di leher hewan itu terdapat sebilah pedang. Kebaikan yang dicontohkan Rasulullah menjadi inspirasi bagai para sahabat dan generasi pengikut setelah mereka. Ini berbicara soal kedewasaan yang membutuhkan seni; seni mengelola potensi  diri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement