REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Abdul Muhib Wahab
JAKARTA -- Sebelum menemui ajalnya, Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq RA pernah memanggil Umar ibn Khattab RA lalu menyampaikan wasiat kepadanya. “Wahai Umar, Allah itu mempunyai hak (diibadahi) pada siang hari yang Dia tidak menerimanya di malam hari. Sebaliknya, Allah SWT juga mempunyai hak (diibadahi) pada malam hari yang Dia tidak mau menerima di siang hari. Ibadah sunah itu tidak diterima sebelum ibadah wajib dilaksanakan.”
Wasiat Abu Bakar tersebut menyadarkan Umar bahwa rotasi waktu itu penuh nilai dan harus dimaknai sedemikian rupa, sehingga manusia tidak merugi dalam hidupnya. Umar melihat pesan Abu Bakar tersebut sebagai isyarat pentingnya manajemen waktu dalam memimpin umat.
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, pesan Abu Bakar tersebut mengandung arti bahwa sebagai calon khalifah, Umar harus bisa membagi waktu; kapan harus menunaikan kewajibannya kepada Allah SWT, kewajiban kepada rakyatnya, dan kewajiban kepada dirinya sendiri.
Sedemikian pentingnya waktu itu, Ibn al-Qayyim al-Jauziyah menegaskan, menyia-nyiakan waktu (idha’atul waqti) itu lebih berbahaya daripada sebuah kematian, karena menyia-nyiakan waktu itu dapat memutus hubungan engkau dengan Allah dan akhirat. Sedangkan kematian hanya memutusmu dari kehidupan dunia dan keluarga saja. Orang yang menyia-nyiakan waktu akan kehilangan kesempatan untuk berinvestasi bagi kehidupan akhiratnya.
Oleh karena itu, Ibn Mas’ud RA pernah berkata, “Aku tidak menyesali sesuatu selain kepada hari yang mataharinya telah terbenam dan umurku berkurang, tetapi di hari itu amalku tidak bertambah.” Manajemen dan disiplin waktu menjadi sangat penting, jika seorang Muslim berusaha menggapai kesuksesan hidup dunia dan akhirat.
Namun dalam faktanya, banyak orang terlena dan mengabaikan nilai waktu. Waktu berlalu tanpa makna dan amal saleh. Tidak sedikit anak-anak muda kita banyak menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang, bermain-main, dan berleha-leha. Kesadaran wal ashri (pentingnya nilai waktu) cenderung tergradasi karena aneka “permainan duniawi” yang menghibur dan memperdayakan, seperti sinetron, aneka games, dan sebagainya.
Dalam memanajemeni waktu, Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, “Siang dan malam itu bekerja untukmu, karena itu beramallah dalam keduanya.” Sebagai manifestasi dari aplikasi manajemen waktu, ketika diamanahi sebagai khalifah, Umar bin Khattab pernah memberikan nasihat kepada Abu Musa al-Asy’ari, “Pemimpin yang paling bahagia menurut Allah SWT adalah orang yang mampu membuat rakyatnya bahagia. Pemimpin yang paling menderita menurut Allah adalah pemimpin yang membuat rakyatnya sengsara. Hendaklah engkau tidak melakukan penyimpangan, sehingga engkau dapat menyimpangkan para pekerjamu, tak ubahnya engkau seperti binantang ternak.”
Semua itu tidak mungkin dapat direalisasikan tanpa manajemen waktu yang efisien dan efektif. Kata kunci manajemen waktu adalah disiplin dan penyegeraan penyelesaian kewajiban, tugas, dan pekerjaan. Nabi Muhammad SAW adalah figur teladan yang paling disiplin waktu, lebih-lebih setelah ditetapkannya shalat lima waktu sebagai fardhu ain (kewajiban personal). Melalui aneka ibadah, terutama shalat, yang dalam Alquran telah ditentukan waktu-waktunya (QS an-Nisa’ [4]: 103), kita dididik untuk disiplin waktu secara baik dan benar. Muslim yang melaksanakan shalat dengan benar mestinya tidak pernah mengabaikan waktu.
Implikasi manajemen waktu dalam Islam sungguh sangat serius sekaligus indah, karena salah satu karunia yang akan diaudit oleh Allah di akhirat kelak adalah pemanfaatan umur kita, tentu termasuk waktu, selama hidup di dunia. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda, “Tidaklah kedua kaki seorang hamba itu melangkah sebelum ditanya tentang empat hal: tentang umur, untuk apa dihabiskan? Tentang (kesehatan) fisik, untuk apa dipergunakan? Tentang harta, dari mana diperoleh? Dan Untuk apa dibelanjakan? Dan tentang ilmu, apakah sudah diamalkan?” (HR Tirmidzi dan Thabrani)
Karena itu, agar fungsional dan bermakna, manajemen waktu harus senantiasa dikawal dengan kesadaran wal ashri, melalui reformasi iman, amal saleh, saling berwasiat kebenaran, dan saling membelajarkan kesabaran (QS al-Ashr [103]: 1-3). Waktu menjadi bermakna jika dilandasi iman yang kokoh, ditindaklanjuti dengan aneka kesalehan, dikembangkan dengan pencarian kebenaran secara akademik, dan diperindah dengan kesabaran sebagai moralitas kehidupan. Mudah-mudahan kita semua mampu me-manage waktu dengan optimal dan efektif, sehingga hidup kita menjadi lebih berkah dan bermakna. Wallahu a’lam. n