Rabu 05 Sep 2018 14:41 WIB

Yusuf Ma Dexin Penerjemah Pertama Alquran ke Bahasa Cina

Ma Dexin dikenal sebagai petualang ilmu.

Alquran
Foto: Reuters
Alquran

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Islam dan Yusuf Ma Dexin dua hal yang terpisahkan dalam geliat dakwah di negeri Cina. Namanya telah dicatat sejarah sebagai penerjemah Alquran pertama dalam bahasa Cina.

Cendekiawan Muslim yang hidup di abad ke-19 ini adalah Muslim Cina dari etnis Hui. Etnis ini adalah yang terbesar di antara etnis-etnis minoritas yang ada di Cina. Lahir pada 1794, ia berasal dari Yunnan, Cina Barat Daya.

Usahanya menerjemahkan Alquran ke bahasa Cina tak lepas dari kemampuannya berbahasa Arab dan Parsi. Berapa lama Ma Dexin menerjemahkan Alquran ke bahasa Cina, tak ada keterangan pasti.

Yang jelas, semasa hidupnya, Ma Dexin dikenal sebagai petualang ilmu. Ia gigih menimba ilmu meski harus pergi merantau, jauh dari tanah kelahirannya. Ia pernah bermukim cukup lama di kawasan Timur Tengah. Pengelanaannya ke luar negeri pun tak lepas dari ikhtiarnya untuk menunaikan rukun Islam kelima, yakni menunaikan ibadah haji.

Ma Dexin berhaji pada 1841, ketika usianya 47 tahun. Perjalanan ke Tanah Suci bukanlah hal yang mudah pada masa itu. Ia harus menempuh perjalanan yang lama dan berliku. Ia mengawalinya dengan menempuh jalur darat bersama rombongan pedagang Muslim.

Setelah melewati Xishuangbanna di wilayah Yunnan, Ma Dexin bersama rombongan pergi ke selatan, ke wilayah Myanmar. Dari situ, ia menyusuri Sungai Irawady dari Mandalay ke Yangon. Di Yangon, rombongan kemudian melanjutkan perjalanan dengan kapal uap menuju Semenanjung Arab.

Perjalanan yang cukup lama itu membuatnya tak segera kembali ke tanah kelahirannya. Usai menunaikan ibadah haji, Ma Dexin bermukim selama delapan tahun di Timur Tengah. Selama itulah, ia menyempatkan diri untuk menimba ilmu di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.

Ia juga menimba pengalaman dengan berkelana ke wilayah Kekaisaran Utsmani, Suez, Alexandria, Yerusalem, Istanbul, Siprus, dan Rhodes. Perjalanan itu memberi manfaat besar bagi Ma Dexin. Salah satunya, ia jadi fasih berbahasa Arab dan Parsi.

Berbekal ilmu, pengalaman menjelajahi berbagai tempat, serta penguasaan bahasa Arab dan Parsi yang baik membuat Ma Dexin terdorong menghasilkan sejumlah karya. Selain karya agungnya, yakni menerjemahkan Alquran dari bahasa Arab ke bahasa Cina, ia juga menulis banyak buku.

Salah satu yang cukup menarik perhatian adalah tulisannya yang membandingkan budaya Islam dengan falsafah Konfusianisme. Dalam karya tulis ini, ia secara lantang mengkritik penyerapan unsur-unsur agama Buddha dan Tao dalam praktik ibadah umat Islam di Cina.

Secara keseluruhan, sepanjang hidupnya, Ma Dexin telah menerbitkan lebih dari 30 judul buku. Buku yang semuanya berbicara tentang Islam itu ia tulis dengan bahasa Arab dan Parsi. Selain soal fikih dan filsafat, ia juga menulis perihal kalender Islam, sejarah Islam, serta analisis terhadap hasil karya pengarang-pengarang Islam di Cina.

Di antara karya penulis Cina yang pernah ia kaji adalah karya dari Ma Zhu dan Liu Zhu. Dalam beberapa bukunya, Ma Dexin juga mengulas seputar tata bahasa Arab, seperti ilmu nawu, shor0f, dan awamil. Tak lupa, ia pun menuliskan catatan perjalanan hajinya.

Bagi dunia Islam, apa yang telah dilakukan Ma Dexin tentu sangat berarti. Namun, tidak bagi penguasa Cina pada masa itu. Hal itu setidaknya tergambar dari akhir hidupnya yang tragis.

Ada sejumlah versi yang berkembang. Salah satunya mengabarkan Ma Dexin wafat setelah dieksekusi oleh penguasa dari Dinasti Ching. Sejarah mencatat, cendekiawan Muslim ini tutup usia pada 1874.

Dicap Pemberontak

Pemberontakan Panthay yang meletus pada 1856-1873 menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari perjalanan hidup Yusuf Ma Dexin. Di Cina, ia dikenal sebagai pemberontakan Du Wenxiu.

Dalam literatur Cina dise but kan, pemberontakan ini me ru pakan aksi separatis yang dimotori etnis Hui dan Muslim untuk melawan penguasa Dinasti Qing di Yunnan. Nama Pan thay diyakini berasal dari ba hasa Myanmar. Nama ini merujuk pada sebutan Muslim dari Yunnan yang datang ke Myanmar.

Tindakan diskriminatif yang dilakukan pihak kekaisaran ke pada etnis Hui diyakini men jadi penyebab pecahnya pemberontakan ini. Ada pula yang menyatakan, konflik ini bermula dari perseteruan etnis Han (etnis mayoritas di Cina) dengan para penambang Muslim pada 1853. Namun, premis ini dibantah karena ketegangan antara etnis Han dan Hui ini sudah ada jauh sebelum pecahnya pemberontakan.

Selama pecahnya pemberontakan, kekerasan demi ke ke rasan muncul dan terus memakan korban. Saat itulah, Ma Dexin turun tangan. Sejatinya, ia hanya ingin menengahi konflik antara umat Islam dari etnis Hui dengan Dinasti Qing yang menjadi representasi etnis Han.

Sejarah mencatat, Ma Dexin mampu memainkan peran itu dengan baik. Namun, dua tahun setelah aksi pemberontakan padam, Dinasti Qing tetap menghukum Ma Dexin. Dicap sebagai pemberontak dan pengkhianat, Ma Dexin tak kuasa melawan kebengisan penguasa yang menjatuhinya hukuman mati. Ia pun berpulang menghadap Sang Pencipta.

sumber : Mozaik Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement