REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rumah sakit sejak zaman dahulu keberadaannya tidak pernah lepas dari peradaban manusia. Bahkan, rumah sakit dapat dijadikan tolok ukur kemajuan dan kemegahan sebuah peradaban.
Jauh sebelum Islam datang, peradaban besar seperti Persia pernah memiliki rumah sakit sekaligus sekolah kedokteran ternama yang berpusat di Kota Gundeshapur.
Peradaban Islam yang pernah mencapai kejayaannya pada masa Dinasti Abbasiyah tidak ketinggalan menaruh perhatian besar terhadap rumah sakit. Meskipun begitu, tidak banyak orang yang tahu secara pasti bagaimana sejarah rumah sakit Islam, sebelum ditulis secara terperinci oleh ulama besar Islam Dr Ahmad Isa Bik rahimahullah dalam karyanya Tarikh al-Bimaristanat Fi al-Islam.
Buku ini menjelaskan tentang keagungan dan kemegahan peradaban Islam dalam berjihad di jalan Allah demi kesejahteraan dan kebaikan umatnya. Penulis membagi karangannya dalam dua bagian, bab pertama berbicara tentang sejarah pendirian rumah sakit (al-Bimaristan), peraturan, dan teori pengobatannya.
Sementara di bab kedua berbicara tentang berbagai rumah sakit di daerah-daerah yang dikuasai Islam, pendirinya, tempat dan orang-orang yang bekerja di sana secara terperinci.
Asal kata al-bimaristan
Menurut Ahmad Isa Bik, di awal sejarah Islam sebutan untuk rumah sakit dalam bahasa Islam dikenal dengan kata "al-bimaristan" bukan "al-mustasyfa" seperti sekarang. Al-bimaristan sendiri bukan dari bahasa Arab, tetapi dari bahasa Persia yang tersusun dari dua kata. Yaitu kata "bimar" yang berarti sakit, cedera atau terluka dan kalimat "satan" yang berarti tempat.
Jadi, bimaristan merupakan tempat orang sakit dan melakukan pengobatan berbagai penyakit atau melakukan operasi di zamannya. Sedangkan kata "al-mustasyfa" baru dikenal saat didirikan rumah sakit Abu Zu'bal di Kairo, Mesir, pada tahun 1825 M yang mengusung konsep modern.
Kira-kira 300 tahun sebelum Islam datang, tercatat pernah ada sebuah bimaristan yang sangat besar di Kota Gundeshapur, yang berada di antara wilayah Persia (Iran) dan Bashrah (Irak). Kota ini terkenal dengan sekolah kedokteran dan rumah sakit yang didirikannya.
Bahkan, Raja Heraklius I pernah mendatangkan guru-guru dari Yunani untuk mengajar di sekolah tersebut dengan bahasa Aramiah. Para ilmuwan di kota itu juga sangat perhatian terhadap manuskrip-manuskrip kuno Yunani kemudian menterjemahkannya ke dalam bahasa Persia.
Penulis mengatakan bahwa Rasulullah SAW dan para khalifah setelahnya berobat kepada dokter-dokter alumni Gundeshapur, seperti Harist bin Kaldah dan anaknya an-Nadhar bin Harist. Begitu juga dengan para khalifah Dinasti Umayyah mereka berobat kepada Ibnu Atsal seorang dokter Nasrani dari Gundeshapur. Dari sinilah umat Islam terinspirasi untuk mendirikan al-Bîmâristân-termasuk mengadopsi istilah rumah sakit-dengan konsep baru yang sesuai dengan ajaran agamanya.
Penulis juga menyebutkan bahwa orang pertama yang mendirikan Bimaristan adalah Rasulullah SAW. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Aisyah RA dalam kitab sahihnya. Ketika Sa'ad bin Mu'adz terluka dalam Perang Khandak, Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat untuk mendirikan kemah di depan salah satu masjid sehingga beliau mudah untuk menjenguknya. Ibnu Ishaq dalam kitab sirahnya menyebutkan bahwa tenda itu milik perempuan yang baru masuk Islam bernama Rufaidah.
Dalam praktiknya, Bimaristan saat itu bukan hanya berfungsi sebagai rumah sakit, akan tetapi juga sebagai laboratorium penelitian dan sekolah kedokteran yang melahirkan dokter-dokter Islam. Bahkan saat itu, menurut penulis, beberapa sekolah kedokteran telah mampu melahirkan para ahli bedah dan ahli bius.
Khalifah Dinasti Umayyah Walid bin Abdul Malik merupakan orang pertama yang mendirikan rumah sakit (bimaristan) dalam sejarah umat Islam di Kota Damaskus, Suriah pada tahun 707 M (88 H). Bimaristan didirikan oleh Walid bin Abdul Malik dengan kas negara sebagai karunia bagi orang sakit berupa pengobatan gratis.
Salah pesan yang diperintahkan Walid bin Abdul Malik kepada dokter-dokter yang ada di rumah sakit tersebut adalah agar mengisolasi penderita penyakit lepra dalam ruangan khusus sehingga tidak menyebar ke orang lain, kemudian para penderita itu diberinya uang sebagai pegangan.
Karya besar Walid bin Abdul Malik tersebut melahirkan kekaguman warganya, dan oleh penduduk Damaskus ia dianggap sebagai khalifah terbaik di zamannya. Di era Dinasti Umayyah pun dibangun al-Bîmâristân lainnya yang berada di Kota Kairo.
Sebenarnya Bimaristan yang dibangun oleh Walid bin Abdul Malik masih tergolong sederhana. Pembangunan beberapa Bimaristan di berbagai kota-kota Islam mencapai puncak kemegahannya pada Dinasti Abbasiyah. Misalnya, pada dinasti ini telah dibangun sarana peristirahatan dan hiburan yang nyaman di dalamnya.
Disebutkan pula bahwa khalifah al-Mansur merupakan orang yang berjasa dalam menentukan konsep modern dalam pembangunan bimaristan agar diikuti oleh para khalifah setelahnya. Di zaman khalifah al-Ma'mun didirikan bimaristan khusus untuk para wanita, anak-anak, dan lansia.
Pada zaman Abbasiyah yang juga dikenal sebagai zaman keemasan Islam telah dibangun tiga bimaristan terbesar yang berada di tiga kota. Yaitu, Bimaristan al-Adhudi di Baghdad, Bimaristan an-Nuri di Damaskus, dan Bimaristan al-Manshuri di Kairo.
Di buku tersebut penulis juga menyebutkan ada dua macam bimaristan di awal kemunculannya, yakni bimaristan yang tetap dan yang bergerak. Bimaristan yang tetap berupa bangunan di suatu tempat tertentu, sebagaimana yang terdapat di ibu kota negara-negara Islam dahulu seperti Kairo, Baghdad dan Damaskus. Peninggalan bangunannya masih bisa disaksikan sampai sekarang, seperti Bimaristan Al-Manshuri di Kairo atau lebih dikenal dengan nama Qalawun di zaman sekarang.
Sementara itu, bimaristan yang bergerak adalah sekelompok dokter yang bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain, di mana terdapat orang sakit dan menyebarnya wabah penyakit. Atau, ia berpindah mengikuti peperangan. Seperti Bimaristan Muhammad bin Malkasyah di zaman Abbasiyah yang mengikuti ke manapun tentara Islam berada, rumah sakit berjalan itu dilengkapi kendaraan berupa 40 ekor unta dan berada di bawah pengawasan dokter Islam; Ubaidillah bin Mudzaffar. Di zaman sekarang bimaristan yang bergerak sama seperti mobil Ambulans.
Walaupun bimaristan ini masih baru, akan tetapi secara konsep, peraturan, dan ketertibannya sangat sempurna dan menakjubkan. Misalnya, bimaristan ini telah dibagi dalam dua bagian yang terpisah. Bangunan pertama untuk laki-laki dan bangunan satunya untuk perempuan, kemudian di kedua bagian itu telah disiapkan berbagai alat kedokteran, perawat, dan dokter-dokter yang ahli di bidangnya.
Selanjutnya kedua bangunan terpisah itu dibagi-bagi ke dalam beberapa ruangan luas sesuai penyakit yang diderita pasien. Seperti ruang penyakit dalam, ruang penyakit lepra, ruang bius, dan ruang bedah atau operasi.
Disebutkan dalam buku ini bahwa bangunan bimaristan memiliki bentuk arsitektur sangat unik dan luas, dengan air yang mengalir di bawah lantai-lantainya. Air yang mengalir ini berfungsi untuk mendinginkan ruangan dan sekaligus memberikan kesegaran. Sehingga memberikan ketenangan pikiran kepada pasien.
Saat itu, bimaristan sudah dilengkapi pula dengan apotek obat-obatan yang disebut dengan istilah "Syarabikhanah" dan dikepalai oleh seorang ketua apoteker yang digelari syekh. Sedangkan kepala bimaristan dikenal dengan istilah "Sa'ur". Di setiap ruangan terdapat kepala-kepala bagian yang membawkan beberapa orang sesuai bidangnya. penulis adalah alumnus Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir.