Selasa 28 Aug 2018 10:40 WIB

Korban Gempa di Lombok Masih Butuh Bantuan

Selain makanan, tim relawan di sini juga telah mendirikan mushala darurat

Rep: M Nursyamsi/ Red: Agung Sasongko
Huntara (hunian sementara) yang dibangun untuk korban gempa Lombok, karya rancang bangun Dompet Dhuafa (DD).
Foto: Dok. Dompet Dhuafa
Huntara (hunian sementara) yang dibangun untuk korban gempa Lombok, karya rancang bangun Dompet Dhuafa (DD).

REPUBLIKA.CO.ID,LOMBOK UTARA -- Relawan dari Komunitas Nasi Jumat (Sijum), Maharani Hasan, bersama kawan-kawannya dari Jakarta sudah hampir dua pekan berada di pos pengungsian di Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Awalnya, sejak H+1 sampai H+6 pascagempa, relawan ini sudah mendirikan posko di Tanjung, Lombok Utara. Melihat kondisi Tanjung yang sudah relatif tersentuh bantuan, tim relawan bergeser dan mendirikan posko dan dapur umum di Cempogok, Desa Santong, Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara pada Kamis (23/8).

"Rencana sampai dua minggu ke depan jika keuangannya cukup atau yah secukupnya uang saya aja deh," ujarnya

Dia mengaku fokus dalam memasak dan mendistribusikan makanan untuk dua kali makan dalam sehari kepada sedikitnya 1.200 jiwa yang ada di pos pengungsian tersebut. Menurut Maharani, kebutuhan perut sangat sangat penting bagi masyarakat terdampak gempa yang rumahnya hancur akibat gempa.

"Saya fokus soal makanan, tidak bantuan lain karena disitu lah kemampuan dan keahlian saya. Urusan makan itu nomor satu, jangan sampai ada saudara kita berganti keimanan hanya karena tiga bungkus mie instan. Ini tanggung jawab kita semua dunia akhirat," lanjutnya. 

Selain makanan, tim relawan di sini juga telah mendirikan mushala darurat untuk korban terdampak gempa beribadah. Kata dia, aspek spiritual sangat penting bagi psikologis warga terdampak, terlebih 100 persen warga di pos pengungsian ini beragama Islam, sehingga tim relawan menaruh fokus lebih agar pengungsi bisa menjalani ibadah, dan juga mengaji bagi anak-anak meski pada sarana yang terbatas.

Dia menyampaikan, hampir 90 persen rumah para pengungsi di sini sudah rata dengan tanah. Untuk kasus bencana yang menghilangkan tempat tinggal, kata dia, langkah awal adalah tenda atau terpal darurat, kemudian pendirian barak yang di sekat-sekat per keluarga, kemudian persiapan pembangunan atau perbaikan rumah kembali, yang mana menjadi tugas pemerintah.

"Sudah hampir satu bulan, jangankan pemerintah membangun barak untuk mereka tinggal, yang ada pada faktanya, sekadar terpal darurat untuk mereka berteduh saja pun masih belum bisa dirasakan seluruh korban. Kalau di pengungsian sini, engga ada (bantuan) sama sekali, enggak tahu kalau pengungsian lain," kata dia.

Di pos pengungsian ini, dia sampaikan, satu tenda darurat dengan terpal dihuni tiga sampai tujuh kepala keluarga. Ia menyampaikan, sudah ada personel dari Palang Merah Indonesia (PMI) datang dan menjanjikan membuat 10 MCK. Jumlah tersebut dirasa masih jauh dari kata cukup. Menurutnya, standar internasional pengungsian, minimal harus ada 50 MCK untuk pengungsi dengan jumlah minimal seribu orang.

"Percaya apa tidak, para pengungsi di sini mandi di alam terbuka, Alhamdulillah disini ada sumur bor. Untuk BAB, mereka menjauh dari pengungsian ke rerumputan. Ini tidak sehat, pengungsi mulai terkena disentri dan ispa," ungkapnya. 

Ia mempertanyakan perhatian dan bantuan pemerintah yang disebutkan adanya ratusan miliar akan digelontorkan bagi para korban gempa. Namun, pos pengungsian tempatnya berada belum sedikit pun tersentuh bantuan.

"Ini bukan katanya, ini bukan hoaks. Demi Allah ini saya alami sendiri di sini. Yang bilang Lombok sudah terkondisikan baik, datang lah ke sini, lihat kami di sini, nanti saya antar juga ke pengungsian di pelosok-pelosok yang sama sekali belum tersentuh bantuan," katanya menambahkan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement