Kamis 09 Aug 2018 17:23 WIB

Kewajiban Saksi

Menjadi saksi bukan hal yang main-main di dalam Islam.

Hukum dan Keadilan (ilustrasi)
Foto: RESPONSIBLECHOICE
Hukum dan Keadilan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjadi saksi bukan hal yang main-main di dalam Islam. Seorang saksi bisa menentukan hukuman seorang terdakwa apakah terbukti atau tidak melakukan tindak pidana. Harga seorang saksi pernah dirasakan Khalifah Ali bin Abi Thalib saat bersengketa dengan seorang Yahudi yang saat itu merupakan kafir zimi (dilindungi Islam). Ketika itu, Ali kehilangan baju zirahnya. Dia pun melihat baju tersebut hendak dijual oleh seorang Yahudi di pasar Kufah.

"Ini baju besiku yang jatuh dari untaku pada malam 'ini', di tempat 'begini'," kata Ali. "Tidak, ini baju besiku, karena ia ada di tanganku, wahai Amirul Mukminin," jawab pria itu. Ali kemudian mengajak orang itu untuk pergi ke seorang hakim yang adil. Keduanya sepakat untuk pergi ke Syuraih al-Qadhi.

Syuraih yang menjadi qadhi sejak masa Umar bin Khatab bertanya kepada Ali. "Apa yang ingin Anda katakan, wahai Amirul Mukminin?" "Aku menemukan baju besiku di tangan orang ini karena benda itu benar-benar jatuh dari untaku pada malam 'ini', di tempat 'ini'. Lalu, baju besiku sampai ke tangannya, padahal aku tidak menjual atau memberikan padanya."

Sang hakim bertanya kepada si zimi, "Apa yang hendak kau katakan, wahai si fulan?" "Baju besi ini milikku dan buktinya ia ada di tanganku. Aku juga tidak menuduh khalifah." Sang hakim menoleh ke arah Amirul Mukminin sembari berkata, "Aku tidak ragu dengan apa yang Anda katakan bahwa baju besi ini milik Anda. Tapi, Anda harus punya bukti untuk meyakinkan kebenaran yang Anda katakan, minimal dua orang saksi." "Ya, saya sanggup. Budakku, Qanbar, dan anakku, Hasan, bisa menjadi saksi." "Namun, persaksian anak untuk bapaknya tidak diperbolehkan, wahai Amirul Mukminin."

 

"Mahasuci Allah! Seorang ahli surga tidak boleh menjadi saksi. Tidakkah kau mendengar sabda Rasulullah SAW bahwa Hasan dan Husain adalah tuan para pemuda penduduk surga?" "Ya. saya mendengarnya, Amirul Mukminin. Hanya saja, Islam membuatku melarang persaksian anak untuk bapaknya." Ali pun merelakan baju itu diambil orang itu. Namun, si zimi ternyata hendak menguji keadilan di dalam Islam. Dia pun mengembalikan baju tersebut dan mengaku jika baju itu bukan miliknya. Lantas, Yahudi itu pun bersyahadat dan menjadi Muslim.

Kisah Ali tersebut menggambarkan betapa penting harga seorang saksi. Jika saja Yahudi itu tidak mengaku, Ali akan kehilangan baju zirahnya karena tidak sanggup menyodorkan seorang saksi yang tidak memiliki garis keturunan langsung dengannya.

Di dalam Islam, saksi disebut dengan syahadat. Dalam buku Fiqih Sehari-hari yang ditulis Saleh al-Fauzan, hukum dasar persaksian dalam sebuah persidangan disebut sebagai fardhu kifayah, layaknya hukum shalat jenazah. Jika ada pihak yang melaksanakan dengan baik, maka kewajiban sebagian kaum Muslimin untuk bersaksi telah gugur. Kewajiban ini sesuai dengan apa yang difirmankan Allah SWT. "Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil." (QS Al Baqarah:282).

Dalam menafsirkan ayat ini, Ibnu Abbas menjelaskan, ayat ini adalah adanya perintah untuk menunaikan persaksian dan menyampaikannya kepada hakim. Sebab, hal itu sangat dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran dan hak. Persaksian pun diibaratkan sebagai sebuah akad atau perjanjian. Hukumnya pun tergolong wajib sebagaimana amar makruf dan nahi munkar.

"Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya." (QS Al Baqarah:283). Ayat ini mengandung ancaman keras kepada orang yang menyembunyikan persaksian. Allah akan menghitamkan hatinya. Dikhususkan kepada hati, karena hati merupakan sentra pengetahuan dan informasi bagi setiap manusia. Termasuk saksi.

Adanya ayat ini pun menunjukkan bahwa hukum menunaikan kewajiban sebagai saksi merupakan fardhu ain bagi orang yang mengetahui kejadian kasus tersebut. Imam Ibnul Qayyim Al Jauzi mengatakan, "Bertanggung jawab dan menunaikan hak adalah wajib. Jika ditinggalkan, maka berdosa hukumnya.."

Sebagai seorang saksi, ia harus mengetahui benar tentang apa yang disaksikannya. Seseorang tidak boleh menjadi saksi atas sesuatu yang tidak ia ketahui. "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentangnya." (Al-Israa:36).

Ada pula hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas ketika Rasulullah ditanya tentang persaksian. "Nabi SAW ditanya tentang persaksian. 'Ia seperti halnya kamu melihat matahari?' Ia berkata, 'Ya'. Beliau lalu bersabda, 'Jika seperti itu, maka jadilah saksi atau tinggalkanlah olehmu". Demikian hadis riwayat al-Khalal dalam kitab Jami-nya.

Di dalam Islam, ada enam syarat seorang saksi bisa diterima persaksiannya di mata hakim. Pertama, orang yang telah balig. Persaksian seorang anak tidak dapat diterima, kecuali dalam kasus atau permasalahan yang berkait dengan anak-anak. Kedua, seorang saksi harus berakal sehat. Hakim tidak bisa menerima persaksian seorang yang gila akalnya. Hanya ketika orang gila itu sudah sembuh akalnya, maka persaksiannya bisa diterima.

Ketiga, saksi harus bisa berbicara. Persaksian seseorang bisa tidak diterima meski isyarat yang disampaikan bisa dipahami. Sebab, persaksian harus disandarkan pada keyakinan. Akan tetapi, jika seorang bisu itu memberikan persaksiannya melalui tulisan, maka bisa saja diterima.

Keempat, seorang saksi haruslah seorang Muslim. Persaksian seorang kafir tidak bisa diterima, kecuali pada wasiat yang ia katakan dalam keadaan musafir atau bepergian. Dan, persaksian yang bersumber dari dua orang kafir dapat diterima jika tidak ada orang lain yang bisa menjadi saksi.

Kelima, dapat menghafal atau mengingat kejadian dengan baik. Seorang yang dikenal sering salah, pelupa dan lalai tidak bisa dipercaya dengan apa yang diucapkan. Kemungkinan keterangan yang disampaikan orang pelupa bisa salah karena salah berucap.

Keenam, seorang saksi harus memiliki sifat adil. Artinya, menurut bahasa, adalah seseorang yang istiqamah dalam beragama. Persaksian yang berasal dari garis keturunan seperti ayah, kakek, dan seterusnya ke atas atau anak, cucu dan keturunan ke bawah tidak bisa diterima. Persaksian antarmereka bisa menyebabkan tuduhan karena adanya kedekatan kekerabatan.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement