REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Ni’am Sholeh, mengatakan aspek kesehatan tidak bisa dipisahkan dengan aspek keagamaan. Begitupun sebaliknya. Perspektif keagamaan memberikan pendukung yang luar biasa terhadap pelaksanaan kegiatan imunisasi sebagai mekanisme pencegahan (wabah) penyakit berbahaya. Karena itu MUI mempertimbangkan upaya percepatan fatwa halal vaksin MR.
“Karenanya pada awal tahun 2016, MUI secara khusus melakukan pembahasan dan penetapan fatwa Nomor 4 tahun 2016 tentang imunisasi yang salah satu isinya adalah imunisasi merupakan salah satu mekanisme pengobatan yang bersifat preventif untuk memberikan perlindungan kesehatan bagi masyarakat itu dibolehkan dengan vaksin yang halal/suci”, ujar Ni’am.
Menurut Ni’am, vaksinasi sebagai sebuah mekanisme pencegahan itu secara syar’i dibenarkan. Namun vaksin sebagai produk yang akan digunakan perlu dinilai dan ditetapkan pula hukumnya.
“Ada kesepahaman dan komitmen untuk mempercepat proses sertifikasi kehalalan vaksin MR. Langkah percepatannya, Ibu Menkes atas nama negara meminta PT Biofarma dan meminta kepada SII secara langsung terkait komposisi atau bahan yang menjadi pembentuk vaksin MR,” terang Ni’am.
Dijelaskan Ni’am, Komisi Fatwa MUI akan mempertimbangkan untuk percepatan proses penetapan fatwa (bagi vaksin MR) setelah ada proses audit oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) sesuai dengan prinsip-prinsip prudensialitas yang dimiliki oleh sistem di LPPOM dan Komisi Fatwa MUI.
“Ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, bisa dikeluarkan sertifikat halal bila terbukti jelas dari sisi bahan, tidak ada anasir yang terbukti haram atau najis. Kemungkinan yang kedua, bila ditemukan ada unsur pembentuknya dari najis/haram, dengan penjelasan bahwa bila tidak diimunisasi akan mengakibatkan mudharat kolektif di masyarakat, maka terhadap yang haram tadi bisa dibolehkan untuk digunakan, dengan catatan tidak ada alternatif lain yang suci/halal atau bahayanya sudah sangat mendesak. Itu poin pentingnya,” jelas Ni’am.
Selain itu, MUI meminta Kemenkes untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat yang ingin menunggu fatwa MUI untuk vaksin MR dan memilih menunda pemberian imunisasi MR bagi anaknya setelah keluarnya fatwa tersebut. “Hal ini sangat terkait dengan ketersediaan informasi yang dibutuhkan, terutama ingredient atau komposisi pembentuk (bahan) vaksin tersebut. Kalau itu tersedia, beberapa hari (fatwa) bisa selesai,” imbuh Ni’am.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI, dr Anung Sugihantono, M.Kes, menegaskan bahwa Kemenkes tetap melaksanakan kampanye imunisasi MR di daerah dalam kerangka pencegahan penyakit. Kemenkes memberikan kesempatan bagi masyarakat yang memilih untuk menunggu terbitnya fatwa MUI, pemberian vaksinasi MR akan dilaksanakan pada kesempatan selanjutnya. Hal ini dimungkinkan mengingat periode pelaksanaan kampanye imunisasi MR di 28 Provinsi di luar pulau Jawa selama dua bulan (Agustus-September).
“Waktu kita kan cukup panjang dari Agustus sampai September. Kementerian Kesehatan akan tetap memberikan pelayanan, sambil kita percepat prosesnya,” katanya.