REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Islam di Jerman berkembang pesat dalam dua dekade terakhir. Saat ini, Islam menjadi agama terbesar kedua di negara tersebut dengan jumlah penganutnya mencapai 4,7 juta orang atau sekitar 5,7 persen dari total populasi Jerman yang sebesar 83 juta jiwa.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Dalam Negeri Jerman, Muslim Sunni menjadi yang terbesar dengan persentase sebesar 74,1 persen, disusul Alevi (12,7 persen), Syiah (7,1 persen), Ahmadiyah (1,7 persen), dan aliran lain-lain (4,4 persen)
"Keberadaan Islam di sini menjadi penting karena sebenarnya hampir setengah dari populasi (penduduk Jerman) tidak religius," ujar pakar Islam di Jerman, Susanne Kaiser, di Berlin, Senin (9/7).
Agama Kristen masih menjadi agama mayoritas negara yang dipimpin Kanselir Angela Merkel tersebut dengan persentase sebesar 47 juta (58 persen), disusul Islam, Buddha (270 ribu), Yahudi (120 ribu), dan Hindu (100 ribu). Menariknya, sebesar 28 juta penduduk atau 35 persen mengaku tidak beragama.
Sebenarnya, kata Kaiser, Islam sudah muncul di Jerman sejak 1945. Akan tetapi, saat itu Islam masih menjadi agama yang tidak terlalu banyak penganutnya dengan jumlah sebanyak 6.000 orang saja. Sejak 1970-an jumlah penduduk Muslim di negara tersebut secara bertahap terus meningkat mulai dari 1,2 juta orang (1976) hingga mencapai 4,5 juta orang (2015).
Semakin besarnya jumlah Muslim di Jerman ternyata menimbulkan masalah baru bagi masyarakat di negara tersebut. Saat ini, isu mengenai Islam menjadi hal yang sering diwacanakan di kalangan masyarakat Jerman.
"Awal dari semuanya adalah serangan teror 911 di Amerika Serikat, meskipun itu juga bisa menjadi perdebatan," kata perempuan yang berprofesi sebagai jurnalis dan penulis buku itu.
Sejak peristiwa aksi terorisme itu, mata masyarakat Jerman seolah-olah menjadi terbuka soal Islam. Sebelumnya, kata Kaiser, orang-orang Jerman hanya menganggap Islam sebagai suatu etnis tertentu saja.
Terakhir, membanjirnya imigran asal Suriah sejak 2015 menjadikan Jerman dipenuhi banyak perdebatan seputar Islam. "Hal ini juga dikarenakan media-media (Barat) kerap mencampuradukkan perdebatan mengenai konflik Timur Tengah dengan perdebatan mengenai Islam," kata Kaiser.
Populernya debat mengenai Islam ini salah satunya juga diakibatkan menguatnya kalangan kelas menengah Muslim di Jerman. "Jika dulu banyak dijumpai wanita Muslim bekerja sebagai tenaga kerja kasar seperti cleaning service, kini wanita Muslim bekerja sebagai guru atau hakim," ujar Kaiser.
Hal itulah yang menjadikan isu hijab baru-baru ini muncul ke permukaan. Sebelumnya, sebuah pengadilan di Berlin melarang guru-guru sekolah dasar memakai hijab. Alasannya, anak-anak SD harus bebas dari pengaruh yang diakibatkan oleh simbol-simbol keagamaan. Meskipun demikian, larangan tersebut tidak berlaku untuk profesi-profesi lainnya seperti pegawai negeri dan kalangan Muslim secara umum.
Meskipun perkembangan Islam di Jerman semakin pesat, sayangnya umat Islam di Jerman kurang mendapatkan keberpihakan secara politik. Perlakuan terhadap umat Islam, misalnya, berbeda dengan perlakuan terhadap umat Yahudi yang diistimewakan akibat peristiwa Holocaust yang hingga kini tabu dibicarakan di negara tersebut.
"Berbeda dengan Yahudi, Islam di Jerman tidak memiliki pengaruh politik dan lobi terhadap kekuasaan. Jadi mereka harus bernegosiasi dengan mayoritas (Kristen)," kata Kaiser.
Demokrasi di Jerman, diakui Kaiser, tidak menguntungkan minoritas seperti Islam. Ia mencontohkan, umat Kristen sesuai amanat konstitusi di Jerman diharuskan membayar pajak gereja (church tax). Sementara, Islam karena statusnya sebagai agama minoritas tidak memperoleh perlakuan serupa.
"Salah satu akibatnya, sulit bagi masyarakat Muslim di Jerman untuk mendirikan masjid," kata Kaiser. Sebagai contoh, untuk membangun sebuah masjid yang besar di Koeln, yakni Cologne Central Mosque, dibutuhkan waktu hingga 10 tahun.
Karena hambatan tersebut, lanjut dia, banyak komunitas Muslim di Jerman terpaksa mendaftarkan tempat ibadahnya sebagai pusat budaya (cultural center). Hingga saat ini, diperkirakan terdapat 3.000 masjid yang didaftarkan sebagai Islamic Center.
Butuh payung hukum
Untuk mengatasi masalah tersebut, menurut Kaiser dibutuhkan sebuah aturan hukum yang bisa memayungi Islam di Jerman. "Sekuler memang berarti bahwa agama harus dipisahkan dengan negara. Meskipun demikian, integrasi bukanlah sebuah jalan satu arah. Dibutuhkan sistem yang beradaptasi dengan struktur yang tegak di masyarakat," kata Kaiser.
Yang jadi masalah, selama ini para pemeluk Islam di Jerman tidak terorganisasi dengan baik. Hal itu cukup berpengaruh terhadap proses integrasi Muslim ke masyarakat Jerman. Lain halnya dengan agama Kristen Protestan yang sudah mapan terlebih dahulu dan terorganisasi di antaranya lewat aturan pajak gereja.
Organisasi-organisasi Islam yang ada diyakini hanya merepresentasikan sebesar 20 persen dari total populasi penduduk Muslim yang ada. Salah satu contohnya adalah The Turkish-Islamic Union for Religious Affairs (DITIB), organisasi Islam terbesar di Jerman yang justru memiliki afiliasi dengan pemerintah Turki.
Negara, kata Kaiser, memang tetap harus netral dan berdiri di atas semua agama. Meskipun demikian, negara juga harus menjamin para pemeluk agama untuk menjalankan keyakinannya. "Selama ini pemerintah dinilai mendukung Islam liberal, hal ini menjadi kontradiktif," kata Kaiser.
Seorang politisi di Jerman, Renate Kuenast, beranggapan bahwa ide tentang payung hukum terhadap agama-agama, termasuk Islam, sangat sulit dilakukan di negaranya. "Kami tidak bisa mencampuri urusan agama, karena hal itu dilarang oleh konstitusi," ujar anggota parlemen Jerman (Bundestag) dari Partai Hijau itu.
Sesuai artikel 4 Basic Law (konstitusi Jerman), negara memang harus memberi kebebasan warga negara untuk menjalankan ibadahnya. Sementara itu, artikel 3 menyebutkan tidak ada seorang pun boleh dikenai prasangka buruk atau diperlakukan istimewa karena agamanya.
Meskipun demikian, Kuenast mengakui bahwa posisi netral pemerintah Jerman ini menimbulkan dilema tersendiri terhadap kalangan Islam di negaranya. Misalnya, persoalan tentang guru dan hakim yang tidak diperbolehkan memakai hijab.
"Hal itu cukup menimbulkan perdebatan di sini. Akan tetapi seorang figur publik (hakim dan guru-red) memang sudah seharusnya memperlihatkan bahwa mereka netral dan independen," ujar Kuenast.