REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama berabad-abad lamanya, Tripoli telah dikuasai berbagai bangsa. Fenisia, Numidia, Roma, Vandal, Bizantium, Arab, Berber, Norman dia, Spanyol, Turki, Italia, dan negara sekutu Perang Dunia II menjadi bangsa yang bergiliran mengecap wilayah metropolis itu.
Hingga akhirnya, Tripoli menjadi ibu kota Libya yang saat itu masih berbentuk monarki Republik atau disebut sebagai Jamahiriyyah, atau Republik Rakyat, sebuah sistem yang dibuat Muammar al Qaddafi, pemimpin revolusi Libya.
Tripoli pernah dipimpin oleh seorang kaisar, raja, sultan, pasha, Four Power Commission, termasuk pemimpin revolusi Muammar al Qaddafi. Dia dijatuhkan rakyatnya pada 2011 lalu. Sejarah tersebut telah menghasilkan beragam budaya dan tradisi menarik yang tetap asing bagi kacamata barat dan banyak wisatawan lainnya.
Kesan pertama, Tripoli tampak tidak memiliki suasana seperti jalan-jalan di Kota Fez, Tunis, atau Aleppo yang berlabirin dan mempunyai denyut kehidupan sehari-hari. Tripoli juga tidak seperti Yerusalem yang bersih dan teratur. Tripoli lebih pendiam, duduk dan menunggu. Karena itu, kota termegah di Afrika utara ini perlu diselidiki lebih dalam sehingga kita bisa menemukan harta karunnya yang tersembunyi.
kota tripoli
Akar sejarah kota Tripoli sangat dalam. Dari abad ke-8 sebelum Masehi, pantai Afrika Utara dijajah pertama kali oleh orang-orang Fenisia yang digantikan orang-orang Yunani. Kita tahu bahwa orang-orang Fenisia kemudian mendiri kan Sabratha, Oea, dan Leptis Magna. Mereka juga memperkenalkan penanaman pohon zai tun ke wilayah ini.
Orang-orang Romawi menamakan wilayah tersebut "Tripolitania" karena keberadaan ketiga kota itu. Dari abad ke-2 hingga ke-5 SM, kota-kota itu menjadi pelabuhan perdagangan penting yang mengirimkan minyak zaitun dan gandum ke Roma dalam jumlah besar. Tidak ada puing reruntuhan yang tersisa di Tripoli saat periode Fenisia, tetapi arsitektur lengkungan kuno yang dibangun pada 164 untuk menghormati kaisar Marcus Aurelius memberikan bukti dramatis akan adanya keberadaan Romawi.
Lengkungan tersebut merupakan monumen Romawi Tripoli yang paling terkenal. Berdasar kan sebuah foto yang diambil oleh Charles W. Furlong dalam buku Gateway to the Sahara yang diterbitkan pada 1909, hanya tampak bagian atas lengkungan tersebut. Menurut Furlong, monumen itu pernah digunakan sebagai toko untuk pemasok ikan kering, rempah-rempah, dan barang-barang lainnya.
peta Tripoli
Ketika Afrika menjalin hubungan perdagangan dengan Roma dan menjadi makmur, Tri politania otomatis mendapat pengaruh politik dari Roma. Vespasianus menjadi kaisar pada 69 Mesehi. Dia menjadi orang pertama yang mengangkat seorang Afrika Utara sebagai seorang senator. Pada akhir abad ke-2, sepertiga dari senat Romawi akhirnya berasal dari Afrika Utara.
Pada pertengahan abad ke-5, suku vandal dari Eropa melintasi Selat Gibraltar dan bergerak ke arah timur, lalu menguasai Afrika Utara lebih dari 1400 tahun sebelum Tripolitania kembali dikuasai oleh Roma. Namun, kaisar Justinian di Konstantinopel menegaskan, kekuasaan Byzantium pada pertengahan abad ke-6, tidak melakukan upaya serius untuk mem pertahankan wilayah tersebut ketika pasukan Arab maju melintasi Afrika Utara pada abad ke-7.
Ketika pasukan Arab masuk ke wilayah ini, mau tidak mau konstruksi Romawi akhirnya dibongkar dan digantikan dengan karya baru. Contoh utama dari bangunan ini adalah Arba'a al-Saf, sebuah tempat bersejarah yang menjadi saksi persimpangan antara budaya Romawi dan Islam. Karena, batu dan tiang bangunan dari Ro mawi telah menyatu ke sudut-sudut bangunan tersebut.
Masjid Agung Tripoli
Demikian dengan tiang-tiang bangunan yang konon berasal dari Romawi. Ini pun men jadi bagian dari pembangunan Masjid al-Nagah, masjid tertua di Tripoli yang direkonstruksi pada 1610. Masjid al-Naqah dibangun sejak pe naklukan Libya oleh Amr Ibn al-Ash dan di perbaharui oleh Khalifah Dinasti Fatimiyah, al- Mu'izz. Masjid ini memiliki 42 kubah kecil dan beberapa interior masjid ini menyerupai ba ngunan Romawi.
Lantaran hubungan mereka terjalin terusmenerus di teluk kecil Mediterania, orang-orang Italia abad ke-20 cenderung menganggap bahwa warga Libya perkotaan telah melestari kan budayanya. Di sisi lain, mereka tidak sadar banyak sisa warisan Romawi yang semakin menghilang dari Italia. Karena itu, pemimpin fasis Italia, Benito Mussolini mengunjungi Libya sebanyak tiga kali antara tahun 1926 dan 1942.
Untuk diketahui, penjajahan Italia atas Libya dari tahun 1911 hingga 1943 bukanlah periode yang bahagia. Invasi militer tahun 1911 dan penindasan terakhir terhadap perlawanan Libya pada tahun 1932, puluhan ribu warga Libya tewas, dan sebagian besar hidup menderita di kamp-kamp konsentrasi yang didirikan oleh pemerintah Italia.
Benito Amilcare Andrea Mussolini
Ribuan lainnya melarikan diri ke Chad, Ni geria, Mesir, dan Tunisia. Namun demikian, pertukaran gagasan, budaya, dan barang-barang antara Tripoli dan Roma terus terjadi. Ka rena itu, pohon cemara plastik yang dihias tinsel tampak dijual di pasar selama perayaan hari lahirnya Nabi Muhammad SAW.
Selama kunjungannya pada 1937, setelah Libya takluk pada Italia, Mussolini pun menyatakan, dirinya merupakan 'Pelindung Islam'. Pada 1939, status sipil khusus bahkan diberikan kepada orang Libya yang setia kepada pemerintah fasis Italia. Negara bahkan mengambil tanggung jawab untuk pemeliharaan masjid. Pemerintahan Mussolini membantu pemberangkatan jamaah haji ke Makkah, serta melarang penjualan alkohol selama bulan Ramadhan.
Namun, Kota Tripoli hari ini sudah tidak terurus lagi, tidak seperti Kota Fez di Maroko dan Kota Tunis di Tunisia yang melestarikan warisan leluhurnya. "Satu studi pada tahun 1980-an menemukan bahwa 14 persen dari ge dung-gedung kota Tripoli berada dalam ke adaan roboh," tulis Charles O. Cecil dalam artikelnya yang dimuat aramcoworld.
Masjid Sha'ab yang DIhancurkan Kelompok Bersenjata di Tripoli
Ketika Libya merdeka pada tahun 1951, penjajah Italia pun pergi. Pemerintah Libya yang baru terbentuk menawarkan perumahan bersubsidi di daerah-daerah baru di kota itu. Banyak keluarga Muslim yang kemudian meninggalkan Tripoli. Banyak bangunan yang ditinggalkan diduduki oleh imigran miskin dari negara-negara benua Afrika.