REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gibah bisa diartikan membicarakan sesuatu yang benar tanpa sepengetahuan orang yang dibicarakan. Dan, biasanya yang dibicarakan tersebut dibenci oleh orang yang digibah. Dalam sebuah hadis riwayat Muslim, Nabi menjelaskan, jika yang dibicarakan betul,jatuhnya ke gibah, jika yang dibicarakan dusta, jatuhnya pada fitnah.
Imam Nawawi secara lugas dalam al-adzkar mengatakan yang termasuk gibah adalah membicarakan sesuatu yang dibenci baik tentang agama, fisik, perilaku, harta, orang tuanya, anak istrinya, raut muka baik dengan ucapan, tanda, atau sekadar isyarat.
Ancaman bagi orang yang melakukan gibah, seperti tertera dalam Alquran surah al-Hujurat ayat 12, seperti memakan daging saudaranya yang sudah mati. Dalam kaidah tersebut, jelas baik gibah maupun fitnah hukumnya terlarang.
Namun ternyata, menurut Imam Nawawi dalam Riyadhush Shalihin memaparkan bahwa ada jenis-jenis gibah yang diperbolehkan. Namun, sebelum masuk dalam bab diperbolehkannya gibah, Imam Nawawi terlebih dahulu menguraikan panjang lebar tentang haramnya gibah dan perintah menjaga lisan.
Bab selanjutnya juga diterangkan larangan orang untuk mendengarkan gibah. Bahkan, seseorang dianjurkan untuk memberi peringatan kepada yang mengibah atau meninggalkan majelis tersebut. Artinya, sebisa mungkin setiap mukmin menghindari gibah untuk kepentingan sendiri atau kelompok. Meskipun di bab selanjutnya Imam Nawawi merinci beberapa gibah yang diperbolehkan.
Imam Nawawi menilai ada enam hal gibah yang diperbolehkan dengan tujuan dibenarkan syariat. Pertama, pengaduan kezaliman. Seseorang yang dizalimi boleh mengadukan perkaranya kepada penguasa, hakim, atau pihak lain yang berkuasa. Harapannya, ia dapat menyadarkan orang yang menzaliminya.
Kedua, untuk meminta pertolongan guna mengubah kemungkaran. Misalnya, seseorang berkata kepada orang yang memiliki kuasa untuk menghalau kemungkaran, “Si fulan telah melakukan ini maka cegahlah dia.” Kaidah ini sangat dikhususkan untuk maksud menghilangkan kemungkaran. Jika tidak masuk tujuan itu maka hukumnya haram.
Ketiga, untuk meminta fatwa. Dalam hal ini kepada mufti atau ulama. Misalnya, seseorang mengatakan, “Ayahku melakukan ini dan itu, bagaimana hukumnya?” Namun alangkah lebih baik jika meminta fatwa menggunakan kata kiasan sehingga tidak langsung menjurus kepada orang per orang. Misalnya, “Seorang lelaki melakukan ini dan itu.”
Keempat, untuk mengingatkan orang Islam agar mewaspadai kejahatan dan menasihati mereka. Dalam kaidah keempat ini ada empat kejadian yang masuk kategori diperbolehkan gibah. Yakni, menyebutkan kekurangan para perawi hadis. Ijma ulama membolehkan, bahkan bisa menjadi wajib sesuai kebutuhan.
Selanjutnya, musyawarah dalam perjodohan, penitipan, muamalah, dan bertetangga. Dalam hal ini orang yang diajak musyawarah tidak boleh menyembunyikan kondisi dirinya. Kemudian, menasihati seseorang yang terus mendatangi ahli bid’ah untuk belajar ilmu. Penyampian keadaan tentang bahaya ahli bid’ah tersebut diperbolehkan dengan niat untuk menasihati.
Lalu, diperbolehkan menasihati penguasa yang tidak menjalankan kewajibannya dengan aturan. Entah karena pejabat tersebut berbuat zalim, lalai, atau tidak berkapasitas memegang amanah. Tujuan menyampaikan keburukan pejabat tersebut agar diganti oleh atasan yang bersangkutan.
Kelima, penyebutan tindakan kejahatan yang dilakukan secara terang-terangan. Jika perbuatan maksiat tersebut tidak dilakukan secara terang-terangan, haram hukumnya untuk diungkapkan.
Terakhir, diperbolehkannya gibah untuk tujuan identifikasi. Apabila seseorang dikenal dengan julukan tertentu, menurut Imam Nawawi, ia diperbolehkan diidentifikasi dengan julukan tersebut. Misalnya si tuli, si buta, dan lainnya. Namun, jika tujuan memanggilnya untuk tujuan menghina maka hukumnya menjadi haram.
Pendapat Imam Nawawi ini disanggah Asy-Syaukani dalam risalahnya Ra’fur Raybah ‘Ammaa Yajuuzu wa Maa Laa Yajuuzu minal Ghibah. Menurut Asy-Syaukani ketentuan haramnya gibah sudah terkukuhkan melalui Alquran, sunah, dan ijma para ulama. Bentuk pengharaman gibah dalam nash-nash di Alquran dan sunah juga bersifat umum yang ditujukan kepada setiap individu Muslim. Menurutnya, tidak boleh mengubah ketentuan haram tersebut menjadi halal pada kondisi dan individu tertentu.
Asy-Syaukani mengharuskan ada dalil khusus untuk mengubah ketentuan hukum gibah tersebut. Jika tidak maka perbuatan gibah yang diperbolehkan termasuk mengada-ada terhadap Allah.