REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Menjadi seorang Muslim minoritas di negara Eropa seperti Jerman memang penuh tantangan. Persoalan tak hanya terkait dengan ibadah, tapi juga hubungan dengan masyarakat mayoritas yang mayoritas sekuler.
Hal itu salah satunya dirasakan Abdoul (30 tahun), seorang koki di sebuah restoran Italia, Vapiano. Saat ditemui Republika.co.id di salah satu cabang Vapiano di Berlin Barat, Ahad (15/7) kemarin pria asal Senegal itu mengutarakan keluh-kesahnya.
"Life is hard (Hidup di sini berat), orang tidak paham tentang Islam," katanya di sela-sela memasak hidangan pasta yang dipesan oleh pengunjung.
Sama dengan teman-temannya asal Afrika yang Muslim, Abdoul mengaku merupakan seorang Muslim yang taat. Setiap hari ia selalu menyempatkan diri untuk shalat. Apalagi tak jauh dari tempatnya bekerja tinggal terdapat masjid.
Meskipun demikian, sulit baginya untuk menerapkan shalat lima waktu. Apalagi atasannya tidak pernah mengizinkannya istirahat saat jam kerja untuk beribadah. Ia hanya bisa shalat di luar jam kerjanya.
Tiap datang bulan Ramadhan, Abdoul mengaku sengaja tidak bekerja selama sebulan penuh agar bisa melaksanakan ibadah puasa dengan baik. Hal itu juga dilakukannya agar pekerjaannya tidak terganggu akibat dirinya berpuasa.
Abdoul mengaku sudah tidak betah lagi bekerja di tempat itu. Menurutnya, pekerjaan yang dilakukannya sekarang membuatnya merasa seperti mesin. "Saya tidak bisa istirahat di sini. Anda lihat sendiri kan?" ujarnya sambil menunjuk panjangnya antrean yang harus kami lalui siang itu.
Walaupun baru bekerja di restoran selama tiga bulan, Abdoul mengaku akan mengundurkan diri pada akhir bulan Juli ini. "Ini bulan terakhir saya bekerja di sini," tuturnya mantap.
Ditanya akan bekerja di mana setelah ini, Abdoul mengaku belum memikirkannya. "Pekerjaan banyak. Mudah jika Anda (penduduk) legal di Jerman," katanya.
Berimigrasi dari Senegal lima tahun yang lalu, Abdoul mendapatkan status sebagai penduduk permanen tiga tahun yang lalu setelah menghabiskan dua tahun pertamanya untuk belajar bahasa. Ia kemudian juga menikah dengan penduduk asli Jerman yang juga Muslim.
Menurut dia, berpindah tinggal di Jerman bukan berarti harus mengikuti kebiasaan orang-orang Jerman. Ia bangga sebagai orang Senegal dan berharap suatu hari nanti bisa kembali ke tanah leluhurnya.
Kehidupan yang berat sebagai Muslim di Jerman juga diakui Levent Yukcu, seorang pengurus di Masjid Sehitlik di Berlin. Selain pemahaman masyarakat Jerman secara umum yang masih kurang, masalah lain yang ditemui adalah persoalan makanan halal.
"Di Jerman hampir tidak ada restoran yang menyediakan makanan yang berlabel halal," kata Levent. Oleh karena itu, kebanyakan Muslim lebih memilih memasak sendiri hidangan yang ingin dikonsumsinya.
Bagi perempuan Muslim, tantangannya bahkan lebih berat. Ia mencontohkan, tidak ada masjid yang menyediakan tempat ibadah khusus bagi perempuan Muslim. Selain itu, masih terdapat diskriminasi bagi perempuan berjilbab. "Jika memakai jilbab, perempuan tidak boleh menjadi guru," kata Levent.
Sementara itu, seorang mahasiswa asal Indonesia yang sedang menempuh kuliah di Jerman, Muhammad Ihsan Karimi (28 tahun), mengungkapkan kendala yang mesti dihadapi Muslim seperti dirinya tiap menjalani ibadah di bulan Ramadhan.
Mahasiswa Master of Mechanical Engineering di TU Berlin itu mengatakan sulit bagi Muslim untuk menjalankan shalat tarawih di masjid saat malam hari. Apalagi waktu Isya di Berlin bisa di atas jam 11 malam.
"Karena ada aturan yang tidak memperbolehkan ribut saat malam hari," kata ketua pengurus Masjid Al Falah, Berlin, itu.
Akhirnya, para Muslim, khususnya jamaah Masjid Al Falah, memilih untuk menggabungkan waktu isya dengan waktu maghrib. Dengan demikian, shalat tarawih bisa dilaksanakan lebih awal dan tidak mengganggu masyarakat sekitar masjid.