REPUBLIKA.CO.ID, HAMBURG -- Jumlah penduduk Muslim di Jerman saat ini sekitar 4,1 juta orang. Diperkirakan terdapat sekitar 3.000 masjid.
Meskipun demikian, para imam masjid yang ada di negara tersebut rata-rata berasal dari negara lain seperti Turki, Mesir, Tunisia, dan Suriah. Profesor Teologi Islam Universitas Hamburg, Prof Serdar Kurnaz, mengatakan hal ini menjadi persoalan yang cukup pelik di Jerman.
"Pemerintah Jerman agak terlambat menyadari pentingnya seorang imam di masjid-masjid tersebut," kata Serdar saat ditemui Republika.co.id di Hamburg, Jumat (13/7).
Padahal Islam di Jerman sudah muncul sejak 1960-an. Pemerintah, kata Kurnaz, baru menyadari pentingnya peran imam setelah tidak ada bagian dari komunitas-komunitas Muslim di Jerman yang bergabung dengan organisasi-organisasi radikal semacam ISIS.
Akhirnya, beberapa tahun lalu studi tentang Islam mulai dipelajari di kampus-kampus di Jerman. Salah satunya dengan pendirian fakultas teologi di Universitas Hamburg dan beberapa universitas lainnya.
"Artinya sudah terlambat lebih dari 50 tahun," kata Kurnaz.
Profesor Teologi Islam Universitas Hamburg, Jerman, Serdar Kurnaz (kiri), bersama seorang peserta program studi Life of Muslims in Germany 2018. Foto: Republika/Fernan Rahadi.
Namun, lanjut dia, pendirian pusat-pusat studi tersebut tidak serta-merta menyelesaikan masalah. Pemerintah belum menemukan formulasi yang tepat untuk memberi pengajaran kepada para imam.
"Masalahnya ada tiga, yakni persoalan dana, bentuk pelatihannya itu sendiri, serta pemahaman tentang Islam yang masih kurang," ujarnya.
Jurnalis dan pakar Islam asal Jerman, Susanne Kaiser, membandingkan dana yang diberikan pemerintah Jerman kepada komunitas Kristen, yang menjadi mayoritas, dengan komunitas Muslim sangat berbeda jauh. Ia mencontohkan, empat tahun lalu, dana yang diberikan pemerintah kepada organisasi Islam terbesar di Jerman, The Turkish-Islamic Union for Religious Affairs atau DITIB, hanya sebesar 1,4 juta euro.
Sedangkan dana yang diberikan untuk organisasi gereja Kristen sebesar 5,5 miliar euro. "Meskipun DITIB hanya merepresentasikan 900 masjid saja, namun perbedaan dana yang dikucurkan terlampau jauh," katanya.
Akibatnya DITIB, yang memiliki afiliasi dengan pemerintah Turki tersebut, harus mendanai aktivitas mereka lewat bantuan dari luar negeri, termasuk untuk urusan mendatangkan imam masjid dari luar negeri. "Hubungan yang memburuk antara Jerman dengan Turki saat ini pun semakin membuat masalah ini kian pelik," kata Kaiser.