REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Langit sudah mulai gelap saat bus yang kami tumpangi berhenti di sebuah jalan kecil di bilangan Reinickendorf, Berlin, Selasa (10/7). Saya dan dua rekan saya kemudian masuk ke sebuah bangunan pucat di pinggir jalan yang tampak sedang dipugar.
Usai memencet bel dan berhasil masuk secara otomatis ke dalam gedung tersebut, tak lama kemudian seorang wanita berperawakan kurus keluar dari balik sebuah pintu di lantai dua. Sekilas terlihat dingin, perempuan berkacamata itu langsung menunjukkan keramahannya dengan mempersilakan kami masuk ke apartemennya.
"Mau minum apa?" katanya sambil mempersilakan kami duduk di sofa yang terletak di ruangan sebelah dalam. Dari bahasa Indonesianya yang kaku, terlihat Lestari (bukan nama sebenarnya-Red) sudah jarang menggunakannya.
Dalam perbincangannya dengan kami, ia mengaku sudah tinggal di Jerman selama 40 tahun lebih sehingga lebih terbiasa menggunakan bahasa Jerman dalam kehidupan sehari-hari. "Jangan kaget ya, tapi saya sudah berada di sini sejak tahun 1973," kata wanita asal Sukabumi itu mengawali perbincangan.
Meskipun awalnya kedua orang tuanya tak menyetujui, Lestari yang kala itu masih berusia 24 tahun telah bertekad untuk melanglang buana ke luar negeri. Lestari muda kemudian diterima bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit milik pemerintah Jerman.
Sempat berpindah-pindah ke berbagai kota seperti Hessen dan Frankfurt, ia akhirnya menetap di Berlin. Apalagi ia kemudian menikah dengan seorang laki-laki berkewarganegaraan Jerman. Keduanya kemudian membeli sebuah rumah di tempat itu.
Keadaan menjadi sulit bagi Lestari sejak ia bercerai dengan suaminya sekitar lima tahun lalu. Apalagi pada saat yang bersamaan ia juga harus pensiun dari pekerjaan yang telah digelutinya selama 40 tahun.
Sesuai perjanjian dengan suaminya, Lestari harus keluar dari rumah tersebut. Namun ia memberikan syarat agar sang suami memberikan rumah tersebut kepada sang putri satu-satunya. Keduanya pun sepakat.
"Seandainya saja saya tidak memikirkan anak saya mungkin saya sudah kembali ke Indonesia sekarang," kata Lestari sambil mempersilakan kami memakan hidangan yang ia suguhkan kepada kami. Hingga kini, ia memang masih mempertahankan kewarganegaraan sebagai WNI.
Anak perempuan Lestari kini tinggal di Muenchen, sebuah kota besar di Jerman. Ia pun mengutarakan kebanggaannya kepada putri satu-satunya tersebut. Selepas menyelesaikan S3-nya di University of Cambridge, Inggris, sang putri sekarang sudah bekerja di sebuah perusahaan biokimia di Muenchen.
Namun, ia juga harus menerima fakta bahwa sang putri sangat sibuk sehingga jarang menengoknya di Berlin. Ia pun tak sungkan mengungkapkan permasalahan bahwa saat ini ia sedang dipusingkan dengan proses kepindahan ke apartemen lain. "Saya sebenarnya sudah nyaman tinggal di sini," kata wanita yang kini berusia 69 tahun itu.
Namun apa daya, statusnya hanya sebagai penyewa di apartemen tersebut. Sedangkan sang pemilik, yang baru saja membeli apartemen itu dari pemilik sebelumnya, berniat untuk menempatinya akhir tahun nanti.
Gelombang imigrasi yang membanjiri Jerman beberapa tahun terakhir ternyata turut memengaruhi wanita senja seperti Lestari. Saat ini, banyak pendatang asal Afghanistan dan Suriah ingin tinggal di Berlin. Sehingga harga properti di wilayah-wilayah kecil seperti Reinickendorf terus mengalami kenaikan.
Meskipun hanya berniat menyewa apartemen, Lestari pun harus menghadapi fakta proses kepindahan tak bisa dilalui dengan singkat. "Karena sekarang orang berebut tinggal di sini," keluh Lestari.
Namun di tengah masalah-masalah yang dihadapinya tersebut, ia masih percaya ada jalan keluar. Seperti diucapkan wanita yang bersama sejumlah orang Indonesia lain yang tinggal di Berlin aktif di sejumlah perkumpulan seperti dharmawanita dan pengajian bulanan di masjid, bahwa Allah SWT tak akan pernah meninggalkan hamba-Nya.
"Walaupun sendiri, jangan pernah merasa sendiri, karena akan selalu ada pertolongan dari Tuhan," pesannya pada akhir perbincangan kami petang itu.