REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie
(Direktur Dompet Dhuafa Pendidikan, Founder Sahabat Remaja)
Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini bukanlah pakar Alqur’an seperti Abdullah bin Mas’ud atau Abdullah bin Abbas. Bukan pula pakar Hadis layaknya Abu Hurairah atau Anas bin Malik. Pun bukan panglima perang sejenius Khalid bin Walid atau Usamah bin Zaid. Namun, tahukah Anda, sahabat satu ini terompahnya telah terdengar di surga oleh Rasulullah ketika Mi’raj, padahal orangnya masih hidup di dunia. Ya, dialah Bilal bin Rabah.
Bilal bin Rabah seorang sahabat yang secara fisik memang tak menarik. Bahkan, mungkin perempuan zaman now tiada yang tertarik menjadi permaisurinya. Ia memang mantan budak Umayah bin Khalaf yang dibebaskan oleh Sayidina Abu Bakar.
Namun, dibalik penampilan fisiknya yang jauh dari rupawan, terdapat keimanan yang menghunjam mendalam dan keistiqamahan memegang amalan. Inilah buah dari tarbiyah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah memang pendidik yang pemimpin. Tugas penting pemimpin adalah mengaktualkan potensi orang-orang yang dipimpinnya. Membimbingnya agar menjadi pribadi berlian. Dan, Bilal menjadi berlian di mata Allah dengan kualitas dirinya sebagai Bilal bin Rabah yang teguh istiqamah setegar karang lautan. Inilah rupanya yang mengantarnya beroleh rahmat Allah dan karenanya berhak mendapat surga.
Demikianlah, semestinya setiap guru mampu menemu kenali potensi terbaik murid-muridnya. Setiap murid memiliki potensi dan kelebihan dibidangnya masing-masing. Dan, setiap murid bisa menjadi berlian dibidangnya itu. Maka, mereka membutuhkan guru yang juga mampu menjadi mentor baginya. Guru yang hebat memotivasi dan menginspirasi.
Guru yang sabar dalam membimbing dan mendidik. Guru yang telaten mendampingi muridnya menemukan potensi terbaiknya. Lalu, menginternalisasikan value agar berkontribusi sebesar-besarnya bagi kejayaan Islam dan kemaslahatan umat pada bidang kekuatannya tersebut.
Insyafilah, surga tidak hanya memiliki satu jalan. Ia memiliki cabang-cabang (sabil) jalan yang bermuara pada shiratal mustaqim. Shirat adalah jalan yang luas dan lebar. Semua orang dapat melaluinya tanpa berdesak-desakan. Berbeda dengan sabil, dia banyak, namun merupakan jalan-jalan kecil. Tak mengapa kita menyusuri sabil asal pada akhirnya sampai pada shirat.
Pada shirat bermuara semua sabil yang baik. Perhatikan surat Al-Maidah ayat 16, “Dengan Kitab itulah Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan-jalan keselamatan (subul as-salam), dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya dengan izin-Nya, dan menunjukkan ke jalan yang lurus (shiraathin mustaqiim).”
Pelajaran yang dapat dipetik adalah seorang muslim harus menghormati perbedaan sabil selama mengantar kepada shiratal mustaqim. Setiap orang dapat menempuh sabil masing-masing yang sesuai dengan dirinya dalam rangka mencapai shiratal mustaqim dan menggapai keridhaan Allah.
Surga bukan hanya milik para ulama, sehingga semua murid didorong menjadi pakar Alqur’an dan Islamic studies. Surga juga milik para pengusaha saleh nan dermawan layaknya Abdurrahman bin Auf. Surga juga milik para panglima perang layaknya Sa’ad bin Abi Waqash. Bahkan, surga juga milik Habib bin Suri An-Najar, seorang tukang kayu, yang mendukung setia dakwah para Rasul hingga harus mengorbankan nyawa.
Maka, setelah menanamkan iman dan adab kepada murid-muridnya, tugas guru adalah membimbing dan mengantarkan murid-muridnya menemukan potensi terbaiknya (sabil-nya). Lalu, melatihnya agar menjadi berlian dibidangnya tersebut. Kemudian, memanfaatkannya untuk berkontribusi bagi dakwah Islam dan kemaslahatan umat.
Indah sekali bila pendidikan Islam mampu melahirkan para murid yang beriman dan bertakwa, kemudian memiliki kompetensi dibidangnya masing-masing. Ada yang menjadi ulama, cendekiawan, pengusaha, ekonom, ilmuwan, teknokrat, dokter, gubernur, dan lainnya. Kemudian bersinergi dan berjuang bersama di jalan dakwah. Semoga saja.