Jumat 06 Jul 2018 10:08 WIB

Bangunan Keagamaan Rentan tak Bisa Dilestarikan?

Masjid menjadi paling rentan untuk tidak bisa dilestarikan nilai aslinya.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Esthi Maharani
Sosialiasi benda yang akan dijadikan Cagar Budaya oleh Pemerintah (Pemkot) Malang di Balaikota Malang, Kamis (5/6).
Foto: Wilda Fizriyani / Republika
Sosialiasi benda yang akan dijadikan Cagar Budaya oleh Pemerintah (Pemkot) Malang di Balaikota Malang, Kamis (5/6).

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Bangunan keagamaan dinilai penting untuk dimasukkan ke dalam daftar yang harus dicagarbudayakan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Malang. Tak hanya gereja, masjid, klenteng, pura dan vihara juga perlu diperhatikan. Di antara bangunan suci keagamaan yang ada, Sejarawan Dwi Cahyono menilai, masjid menjadi paling rentan untuk tidak bisa dilestarikan nilai aslinya.

"Seperti Masjid Jami itu kalau lihat bangunan sekarang sudah banyak alami perubahan. Yang asli cuma di bagian tertentu, di bangunan induknya. Hal ini beda dengan gereja dan klenteng yang masih terlihat ornamen aslinya di masa lalu," kata anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Malang ini di Balaikota Malang, Kamis (5/6).

Mengenai kondisi ini, Dwi menjelaskan, peninggalan masa lalu setidaknya terbagi dua, yakni living monument dan death monument. Death monument berarti bangunan yang tidak digunakan lagi sehingga memiliki risiko tinggi terabaikan. Sekalipun dimiliki seseorang, pemilik sudah tidak memiliki kepentingan sehingga perubahan dapat terjadi kapan pun.

"Bangunan yang sudah dan sedang digunakan juga rentan karena terkadang harus disesuaikan dengan kebutuhan," jelas Dwi.

Pada bangunan masjid, Dwi menjelaskan, bagian serambi biasanya yang paling mudah berubah. Tak hanya itu, atap masjid juga sering mengalami perubahan karena mengikuti tren terbaru. Hal ini dapat terlihat semisal masjid yang dulunya beratap susun menjadi kubah atau memiliki hiasan.

Seperti diketahui, Masjid Jami telah berdiri di Kota Malang sejak 1820-an. Salah satu masjid tertua ini sudah mengalami perubahan kesekian kalinya. Ada bangunan tambahan karena masalah kebutuhan dan juga perubahan penampilan akibat selera jamaah atau dapat pula dari takmirnya.

"Sebenarnya tidak hanya masjid, pura juga  ada yang mengalami perubahan besar. Meski demikian, pura masih mempertahankan karakternya di sekitarannya. Beda dengan masjid yang alami perubahan, seperti ada yang sudah mengganti kubah dengan model fantasi, warna-warni atau hias," tegasnya.

Di agama lain, Dwi menilai, gereja justru lebih memperhatikan nilai aslinya. Pengelola sepertinya tidak terlalu terpengaruh dengan tren baru. "Ya intinya yang rentan itu harus hati-hati, harus cepat dijadikan prioritas," tambah dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement