Rabu 20 Jun 2018 09:33 WIB

Mengenal Yusuf al-‘Azhmah Pejuang Kebangkitan Arab

Dunia Arab pada kurun waktu antara dua perang dunia dipenuhi dinamika.

Burung merpati terbang di Alun-Alun Marjeh di Damaskus, Suriah, Sabtu, 27 Februari 2016.
Foto: AP Photo/Hassan Ammar
Burung merpati terbang di Alun-Alun Marjeh di Damaskus, Suriah, Sabtu, 27 Februari 2016.

REPUBLIKA.CO.ID, OLEH HASANUL RIZQA

Dunia Arab pada kurun waktu antara dua perang dunia dipenuhi dinamika. Inilah masa yang pada akhirnya menentukan geopolitik kawasan Asia Barat dan Afrika Utara, termasuk Suriah.

Kesultanan Utsmaniyah menguasai negeri ini yang juga dinamakan Syam sejak abad ke-16 hingga tahun 1922. Sebelum huru-hara Perang Dunia II, Suriah menjadi sebuah kerajaan Arab yang diproklamasikan pada 8 Maret 1920.

Setelah itu, Suriah menjadi incaran kolonialisme Eropa, khususnya Prancis, yang berambisi menanamkan pengaruh di utara Semenanjung Arab. Bangsa Arab-Suriah umumnya menentang pencaplokan setiap jengkal tanah air mereka.

Karena itulah, tidak sedikit pejuang Suriah yang gugur di medan perang dalam melawan penjajahan. Nama mereka harum sampai generasi-generasi berikutnya.

Di antara para pahlawan itu adalah Yusuf al-`Azhmah. Menurut buku Steel & Silk: Men and Women who Shaped Syria 1900-2000 karya Sami M Moubayed, dia merupakan tokoh militer Suriah yang disegani kawan maupun lawan.

Namanya dikenang terutama sejak pecah Perang Maysalun di barat Damaskus pada 24 Juli 1920. Meskipun gugur dalam pertempuran ini, perjuangannya ikut menaikkan moral bangsa Arab- Suriah dalam melawan kolonialisme.

Yusuf al-`Azhmah lahir pada 1884 di Damaskus dari keluarga yang multi- etnis. Saat berusia 22 tahun, dia lulus dengan pujian tertinggi dari Akademi Militer Utsmaniyah di Istanbul.

Kemudian, dia menempuh pelatihan militer lanjutan di Jerman selama dua tahun. Pada 1909, namanya tercatat ke dalam Angkatan Perang Utsmaniyyah. Tidak menunggu waktu lama, tugas pertama menantinya sebagai atase militer kesultanan tersebut di Kairo, Mesir.

Ketika Perang Dunia I meletus pada 1914, Yusuf al-`Azhmah ditunjuk menjadi komandan Brigade Utsmaniyyah 25 di Bulgaria. Setelah itu, namanya mulai dikenal luas kalangan elite militer di ibu kota. Belakangan, rekam jejaknya yang cakap selama memimpin di medan pertempuran membuatnya ditarik ke Istanbul untuk menjalani tugas baru sebagai asisten militer Jenderal Anwar Pasha.

Sesudah Perang Dunia I mereda, Dinasti Utsmaniyyah termasuk ke dalam kelompok yang kalah. Istanbul pun goyah dalam mempertahankan kendali atas daerah-daerah taklukannya di selatan.

Konferensi Perdamaian di Paris pada 1919 menjadi ajang bagi-bagi kue wilayah kekuasaan di Dunia Arab yang mulai memberontak terhadap Utsmaniyyah. Di antara imperium Eropa yang menang Perang Dunia I, Inggris dan Prancis menjadi yang paling ambisius untuk menduduki negeri-negeri Arab.

Seorang putra Syarif Makkah, Hussein bin Ali al-Hasyimi, yang bernama Faisal I ikut dalam forum yang berlangsung di Prancis itu. Di sana, dia menyuarakan kemerdekaan dan nasionalisme Arab. Sementara itu, kelompok- kelompok pendukungnya di Suriah menyiapkan kongres nasional untuk mewujudkan kemerdekaan yang dimaksud.

Pada Maret 1920, Faisal I dengan dukungan kaum nasionalis mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Arab-Suriah.Keturunan Bani Hasyim itu diangkat sebagai raja, sedangkan Hasyim al-Atassi selaku perdana menteri. Adapun Yusuf al-`Azhmah yang saat itu merupakan staf ahli Faisal I menjadi menteri pertahanan.Kemungkinan besar, Faisal I terkesan dengan rekam jejak al-`Azhmah sejak dirinya bertugas sebagai utusan militer untuk wilayah Beirut (Lebanon).

Di sinilah kepiawaiannya di bidang administrasi mulai teruji. Sebab, Kerajaan Arab-Suriah baru seumur jagung tetapi harus menghadapi pelbagai potensi konflik terbuka dengan negara- negara besar Eropa atau para pemenang Perang Dunia I.

Menurut Moubayed, sang menteri mampu membuktikan dirinya pantas menduduki jabatan ini. Dia merintis struktur angkatan perang Arab- Suriah hampir-hampir dari nol. Sebelumnya, tidak ada sistem militer yang tertata dengan baik. Sekolah kemiliteran pun absen di seluruh penjuru negeri.

Segenap persoalan ini merupakan tantangan tersendiri yang harus diatasi sesegera mungkin. Yusuf al-`Azhmah berhasil memperbaiki kondisi pertahanan nasional sejak menjabat menteri. Dia telah mengumpulkan banyak amunisi dan persenjataan yang tersisa di seluruh negeri pasca-Perang Dunia I.

Infrastruktur pertahanan nasional serta hierarki Angkatan Perang Arab-Suriah juga ditata lebih modern. Anggaran negara juga ditingkatkannya untuk menaikkan taraf hidup para tentara. Atas upaya- upaya ini, sang menteri dipromosikan untuk menduduki jabatan Panglima Perang Kerajaan Arab-Suriah sejak 26 Januari 1920.

Hanya dalam hitungan bulan, batu uji yang sesungguhnya muncul. Prancis tidak menerima proklamasi Kerajaan Arab-Suriah. Pada 14 Juli 1920, pemerintah Prancis mengeluarkan ultimatum kepada Faisal I agar menarik mundur pasukan Suriah serta menerima keputusan Sekutu yang menghendaki Suriah dan Lebanon sebagai daerah protektorat yang dikuasai Prancis. Lebih jauh, Prancis memerintahkan raja Arab- Suriah itu agar menangkap para politikus lokal yang anti-Prancis.

Selanjutnya, tentara Prancis mulai menduduki pantai Suriah dan merebut kota-kota penting, seperti Beirut serta Lattakia. Hanya menunggu waktu sampai pasukan ini tiba di jantung kerajaan, Damaskus.Berbeda dengan kehendak penguasa, Yusuf al-`Azhmah menolak patuh pada ultimatum Prancis.

Dia lantas meminta kepada Raja Faisal I agar memberikan kepadanya kesempatan untuk membuktikan bahwa Arab-Suriah masih memiliki semangat juang untuk menghadapi bangsa Eropa itu.

Pada 20 Juli, balatentara Prancis sudah tiba di Damaskus. Raja Faisal I tidak punya pilihan selain memaklumkan pertahanan nasional agar negeri ini tidak jatuh. Yusuf al-`Azhmah mengunjungi daerah-daerah untuk mengumpulkan tenaga tambahan hingga tiga ribu pasukan. Semangatnya tidak luntur, kendati gerakan-gerakan politik tertentu justru berupaya agar Arab-Suriah menyerah pada Prancis.

Kenyataan pahit mulai tampak di medan pertempuran dekat Khan Maysalun pada 24 Juli 1920. Di daerah pegunungan yang terletak 12 kilometer arah barat Damaskus itu, Yusuf al-`Azhmah dan pasukannya harus menghadapi Prancis yang dipimpin Jenderal Henri Gouraud.

Akan tetapi, jumlah pasukan Arab-Suriah justru menyusut drastis bila dibandingkan dengan daftar yang ada di angkatan militer, yakni dari 13 ribu tentara menjadi hanya tiga ribu personel.

Apalagi, persenjataan yang digunakan Al-`Azhmah dan pasukannya kebanyakan merupakan bekas perlengkapan militer dari zaman Ustmaniyyah. Dalam pertempuran di Maysalun ini, Yusuf al- `Azhmah pun menemui ajalnya. Dia gugur sebagai pahlawan yang tidak gentar menghadapi musuh demi kemerdekaan negerinya.

Sejak saat itu, Prancis sepenuhnya menguasai Suriah dan Lebanon. Faisal I kemudian berstatus sebagai pelarian politik dan tinggal di Inggris Raya. Belakangan, sosok ini ditawarkan untuk menjadi raja Irak, negeri yang sejak 1920 berstatus sebagai daerah mandat Inggris.

Untuk mengisi kekosongan, Prancis membentuk pemerintahan di Suriah dengan menempatkan 'Alaa al-Din al- Darubi sebagai pemimpin boneka. Pada 1 September 1920, Suriah dipecah-pecah menjadi beberapa wilayah untuk kemudah an administrasi kolonial.

Betapapun tidak mendapatkan hasil yang diharapkan, perjuangan Yusuf al- `Azhmah justru menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan kebangkitan Arab bertahun-tahun kemudian. Kepahlawanannya seakan menjadi pemantik semangat agar bangsa Arab dan Dunia Islam pada umumnya merdeka dari belenggu penjajahan.

Gugurnya sang jenderal menjadi simbol bagi keberanian, yang sesungguhnya relevan untuk dikenang lagi pada era Suriah abad ke-21 sekarang, di mana Perang Saudara masih saja berkecamuk. Suriah kini tidak lebih sebagai ajang perang proksi negara- negara adidaya Barat.

Demikianlah riwayat keberanian seorang putra kebanggaan Suriah. Bahkan, mantan musuhnya sendiri mengakui sikap patriotisnya. Hal ini tampak dari memoar La France en Syria, karya Jenderal Gouraud.

Di sana, dia mengenang Pertempuran Maysalun sebagai salah satu tonggak penting dalam karier militernya. Adapun tentang Yusuf al-`Azhmah, tokoh Prancis ini berkata, Dia [Al- `Azhmah] gugur sebagai seorang prajurit yang pemberani di medan perang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement