Jumat 01 Jun 2018 12:12 WIB

Kelompok HAM Kecam Larangan Burqa dan Niqab di Denmark

Denmark adalah negara Eropa terbaru yang melarang hijab dengan cadar di tempat umum.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Andi Nur Aminah
Burqa
Burqa

REPUBLIKA.CO.ID, STOCKHOLM -- Parlemen Denmark mengesahkan undang-undang yang melarang penggunaan pakaian yang menutupi wajah di tempat umum. Kebijakan Denmark ini menyusul langkah sejumlah negara Eropa yang telah mengenalkan larangan serupa.

Anggota parlemen Denmark mengesahkan larangan tersebut melalui pemungutan suara pada Kamis (31/5). Sebanyak 75:30 suara menyetujui larangan tersebut. Sementara 74 anggota lainnya absen dari pemungutan suara. Kendati pemerintah membantah bahwa undang-undang itu ditujukan pada agama apapun, namun hal itu dipandang diarahkan pada pakaian yang dikenakan oleh beberapa wanita Muslim konservatif seperti niqab atau burqa. Selain itu, larangan tersebut juga muncul di tengah kekhawatiran akan meningkatnya Islamofobia di Eropa.

Denmark adalah negara Eropa terbaru yang melarang hijab dengan cadar di tempat umum. Diawaki oleh pemerintah kanan-tengah, undang-undang itu juga didukung oleh Partai Sosial Demokrat dan Partai Rakyat Denmark sayap kanan-jauh. Aturan tersebut akan berlaku pada 1 Agustus mendatang.

"Siapa pun yang mengenakan pakaian yang menyembunyikan atau menutupi wajah di depan umum akan dihukum dengan denda," demikian pernyataan undang-undang tersebut, seperti dilansir di Arab News, Jumat (1/6).

Siapa pun yang mengenakan burqa (yang menutupi seluruh wajah) atau niqab (yang hanya menunjukkan mata) di depan umum akan dikenakan denda sebesar 1.000 kroner (156 dolar). Larangan itu juga menargetkan aksesoris lain yang menyembunyikan wajah, seperti balaclavas dan janggut palsu. Pelanggaran berulang akan didenda hingga 10 ribu kroner. Meski begitu, tidak diketahui berap banyak wanita yang mengenakan niqab atau burqa di Denmark.

"Saya pikir tidak banyak yang memakai burqa di sini di Denmark. Tetapi jika anda melakukannya, anda harus dihukum dengan denda," kata Menteri Kehakiman Soren Pape Poulsen seperti dikutip oleh kantor berita Ritzau pada Februari lalu.

Sementara itu, larangan ini menimbulkan sejumlah kecaman. Aktivis hak asasi manusia memandang itu sebagai pelanggaran terhadap hak-hak perempuan. Kelompok HAM juga mengatakan undang-undang itu sebagai sesuatu yang tidak perlu atau tidak proporsional.

Amnesti Internasional mengutuk undang-undang tersebut sebagai pelanggaran diskriminatif terhadap hak-hak perempuan. Terutama, terhadap perempuan Muslim yang memilih mengenakan cadar penuh.

Direktur organisasi Europe, Gauri van Gulik, mengatakan, meskipun beberapa pembatasan khusus pada pemakaian cadar penuh di wajah ditujukan untuk keselamatan publik, namun larangan itu tidak diperlukan atau tidak proporsional. Menurutnya, larangan itu justru melanggar hak atas kebebasan berekspresi dan agama. "Jika maksud dari undang-undang ini adalah untuk melindungi hak-hak perempuan, itu gagal secara tidak adil. Sebaliknya, undang-undang itu mengkriminalisasi perempuan karena pilihan pakaian mereka," kata Van Gulik.

Seorang wanita asal Pakistan, Ayesha Haleem, mengatakan tidak ada seorang pun, termasuk suaminya, yang memaksanya untuk memakai niqab. Haleem mengenakan niqab selama enam tahun terakhir saat ia tinggal di Denmark.

"Banyak orang percaya bahwa pria memaksa kita memakai niqab atau burqa. Itu benar-benar salah. Jika saya tidak ingin memakai niqab, maka saya tidak akan memakainya, bahkan sebelum bertemu dengan suami saya. Saya lebih baik meninggalkan negara itu daripada melepas kerudung saya," ujar Haleem.

Jilbab penutup wajah memang menjadi isu panas di Eropa. Tahun lalu, Pengadilan HAM Eropa mengesahkan undang-undang di Belgia yang melarang untuk mengenakan penutup wajah di tempat umum. Prancis adalah negara Eropa pertama yang melarang niqab di tempat umum dengan undang-undang yang berlaku pada 2011.

Sebelumnya tahun lalu, anggota parlemen Jerman menyetujui larangan parsial tentang penutup wajah. Menurut undang-undang tersebut, pegawai negeri dan pejabat termasuk hakim dan tentara harus memperlihatkan wajah mereka. Masyarakat juga dapat diminta untuk melepas penutup wajah, saat hendak mencocokkan wajah dengan kertas identitas mereka. Sementara di Austria, hukum yang melarang pakaian Muslim yang menutupi wajah secara penuh di ruang publik sudah mulai berlaku tahun lalu. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement