REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Masih tingginya angka stunting di Indonesia membuat Fatayat NU tergerak membangun kerjasama lintas agama dan kepercayaan. Melalui kerjasama ini diharapkan dapat mempercepat penanganan stunting.
Ketua Umum Fatayat NU, Anggia Ermarini, menyatakan bahwa kasus stunting ini tentu tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah sendiri. Perlu kerja bersama lintas sektoral untuk membangun percepatan penurunan angka stunting.
"Ini diantara beberapa inisiatif gerakan yang bisa kita lakukan. Kami berharap pemerintah yang punya jangkauan luas bisa melakukan lebih banyak hal lagi,” ungkapnya, dalam siaran persnya, Jumat (1/6).
Data terakhir yang berhasil dihimpun, tercatat sebanyak 37,2 persen anak Indonesia mengalami stunting. Artinya dari 5 anak ada 3 anak yang mengalami stunting. Sementara itu efeknya adalah anak stunting memiliki produktivitas yang rendah karena kondisi IQ dan kelainan hormonal. Akibatnya, beban negara akan bertambah yang diperkirakan mencapai angka 300 trilyun per tahun dari kasus ini.
"Jadi acara ini digagas untuk mengajak seluruh tokoh lintas agama terlibat aktif menyampaikan dakwah kesehatan pada jamaahnya. Salah satunya ya bicara masalah stunting" ujarnya di sela-sela acara workshop lintas agama cegah stunting di Jakarta pada 30-31 Mei.
Dalam acara ini, hadir puluhan tokoh lintas agama dan aliran kepercayaan. Diantara mereka adalah Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Pelkesi, PHDI, Aliran Kepercayaan Bahai, Matakin dan beberapa organisasi Islam.
Mereka bersepakat kasus stunting ini adalah pekerjaan rumah bersama demi menyiapkan masa depan bangsa. Lily, salah satu pengurus Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) menyampaikan apresiasinya atas acara workshop ini. Dia menuturkan sebagai seorang tokoh agama yang menjadi sumber informasi masyarakat harus mampu menjelaskan berbagai isu termasuk stunting.
"Saya berharap para tokoh agama menyampaikan isu ini dalam ajarannya agar tidak ditemukan lagi kasus gizi anak kedepannya" terangnya.
Bentuk keseriusan para tokoh agama ini adalah mereka berhasil menyusun beberapa rekomendasi. Ada tiga domain utama yaitu advokasi, perubahan perilaku dan monitoring.
Dalam hal advokasi, tokoh agama harus mampu membangun komunikasi intensif dengan berbagai pihak. Mulai dari pemerintah, pihak swasta, sektor pendidikan, media dan lainnya yang terkait. Tujuannya untuk menjaring kerjasama mengatasi masalah stunting ini.
Kedua, faktor perubahan perilaku adalah kunci utamanya. Penyadaran masyarakat untuk hidup sehat yang berujung pada perubahan perilaku ini adalah tantangan terbesar. Karena faktor lingkungan dan keluarga adalah kunci terbentuknya perilaku itu sendiri.
Sementara, kuatnya akar budaya yang dipercayai masyarakat merupakan penghambat terbesar. Maka, tokoh agama harus bisa menyajikan data dan informasi yang akurat, mudah dicerna dan masuk dalam logika masyarakat. Selain itu, tokoh agama perlu menjadi contoh langsung atas perubahan perilaku tersebut.
Ketiga, monitoring adalah tugas pemuka agama dalam mengontrol, mengawasi sekaligus mendampingi pelaksanaan tugas mulia ini. Sehingga kekuatan dan kelemahan apa yang dimiliki atau kendala apa saja yang bisa dievaluasi. Hal ini perlu dilakukan agar masyarakat merasa nyaman dan mudah menerima sesuatu baru dengan baik.
Pada akhir acara, Anggia juga mengingatkan bahwa tugas ini adalah perintah semua agama. Yaitu bagaimana manusia mampu menyiapkan generasi yang berkualitas dan tidak meninggalkan generasi yang lemah. Maka, Anggia optimis dengan bergandengan tangan antar pemuka agama ini masalah stunting bisa dikendalikan tentu dengan peran serius dari pemerintah.