Jumat 25 May 2018 05:03 WIB

Masjid Agung Samarra, Ciri Khas Arsitektur Babilonia

Keunikan masjid ini terletak pada menara yang berbentuk spiral

 Masjid Agung Samarra, Irak.
Foto: wordpress.com
Masjid Agung Samarra, Irak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kota Baghdad, Irak, dikenal sebagai Negeri 1001 Malam. Disebut demikian, karena berbagai keunikan yang ada di kota tersebut. Mulai dari bidang kesusasteraan, cerita unik, hingga peradaban. Karena itu, tak lengkap rasanya, bila punya kesempatan berkunjung ke Irak, tanpa menyaksikan keindahan kota tersebut.

Salah satu tempat yang layak dijadikan tujuan wisata adalah Masjid Agung Samarra. Masjid ini merupakan salah satu tempat ibadah terbesar yang pernah dibangun di dunia Islam. Masjid tersebut dibangun pada sekitar abad ke-9 Masehi atas perintah Khalifah Al-Mutawakkil, yakni khalifah ke-10 dari Dinasti Abbasiyah, yang berkuasa di Samarra dari tahun 833 hingga 842 M.

Masjid ini terletak di sisi timur Sungai Tigris, tepatnya sekitar 125 kilometer ke arah utara ibu kota Irak, Baghdad. Dan, antara tahun 836 M (221 H) hingga 892 M (279 H), Samarra merupakan ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah.

Dalam makalahnya yang berjudul The Mosque of al-Mutawakkil, dosen Arkeologi Universitas Durham, Dr Derek Kennet, memaparkan, Masjid Agung Samarra mulai dibangun pada 836 M dan konstruksinya selesai dalam waktu 52 tahun.

Seiring dengan perjalanannya, masjid ini sempat mengalami kerusakan. Namun, kemudian dibangun kembali antara tahun 849 dan 852 M. Dan, karena faktor usia, masjid ini dipergunakan sebagai tempat ibadah hingga akhir abad ke-11 M.

photo
Masjid Agung Samarra

Secara sepintas, bangunan lebih mirip benteng pertahanan dibandingkan dengan masjid. Mengapa, karena tak ada simbol-simbol khusus yang tampak dari kejauhan yang menandakan bahwa bangunan tersebut adalah tempat ibadah. Mengapa? Karena, bentuknya memang sangat tidak mirip dengan masjid. Seperti benteng pertahanan, bangunan ini secara keseluruhan konstruksinya menggunakan batu bata yang telah melalui proses pembakaran terlebih dahulu.

Menara spiral

Kalaupun ada tanda yang bisa disebut dengan masjid, mungkin hanya menaranya. Anehnya, ia bukan menara yang tampak umum dalam sebuah bangunan masjid yang bentuknya meruncing. Sebaliknya, bentuk menara Masjid Agung Samarra ini justru berbentuk spiral, kendati semakin ke atas juga tampak meruncing.

Seperti umumnya menara, kalaupun ada cara untuk naik ke puncaknya, tangga dibangun di bagian dalam menara. Sedangkan Masjid Agung Samarra ini, tangga melingkar justru dibangun berbarengan dengan bangunan menara yang berbentuk spiral. Dikisahkan, Khalifah Al-Mutawakkil pernah mencapai bagian atas menara ini dengan menunggang keledai putih miliknya.

Inilah keunikan dari Masjid Agung Samarra. Bentuk menara spiral ini mengingatkan kita pada menara Babel (the Tower of Babel) yang dibangun pada masa Kerajaan Babilonia yang memerintah di wilayah Mesopotamia oleh Nebuchadnezzar.

photo
Masjid Agung Samarra

Menara berbentuk spiral ini disebut juga dengan Malwiyya. Tingginya mencapai 52 meter. Bagian dasar menara berbentuk empat persegi. Sedangkan pada bagian atas menara terdapat sebuah paviliun yang difungsikan sebagai tempat muazin mengumandangkan suara azan. Keseluruhan dinding pada ruang tempat muazin ini terbuat dari material kayu.

Bangunan Masjid Agung Samarra berada di dalam lahan berpagar yang berukuran 374 meter kali 443 meter. Dengan luas 239 meter kali 156 meter menjadikan bangunan masjid ini sebagai yang terluas yang pernah ada dalam sejarah masjid di dunia Islam. Untuk memudahkan akses ke lokasi masjid, Pemerintah Irak membuat tiga jalan masuk seluas 52 meter.

Masjid ini mempunyai 16 pintu masuk, dengan 17 lorong yang terhubung dengan ruang shalat dan serambi masjid. Serambi masjid ini berhiaskan tiang-tiang pilar rangkap tiga. Pada waktu shalat Jumat, bagian serambi masjid biasanya juga dipergunakan untuk menampung para jamaah shalat Jumat yang tidak tertampung di dalam masjid.

Desain bagian dalam ruang shalat Masjid Agung Samarra berhiaskan marmer yang membentuk pola segi delapan pada bagian sudut-sudut ruangan. Sementara bagian mihrab, dihiasi dengan mosaik kaca. Kini hanya sebagian kecil dari potongan-potongan mosaik tersebut yang masih tersisa.

photo
Disain awal Masjid Agung Samarra

Penggalian yang dilakukan oleh Direktorat Pemeliharaan Bangunan Kuno Pemerintah Irak pada1960 silam berhasil menemukan sebuah panel berupa potongan-potongan kaca berwarna biru tua yang berderet di dinding masjid.

Di bagian belakang mihrab, terdapat sebuah bangunan kecil. Pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, bangunan tersebut biasa digunakan sebagai tempat untuk menerima kunjungan khalifah, di samping sebagai tempat istirahat untuk para imam masjid.

Warisan dunia

Sebagaimana dilansir kantor berita Agence France-Presse (AFP), Badan PBB bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Budaya (UNESCO), telah menetapkan Masjid Agung Samarra di Irak ini sebagai salah satu bangunan yang masuk daftar tempat-tempat bersejarah di dunia atau World Heritage Sites.

Kota Samarra pernah menjadi ibu kota pemerintahan Islam yang menguasai sejumlah provinsi di masa Kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah yang berasal dari Tunisia melebarkan wilayah kekuasaannya hingga ke kawasan Asia Tengah pada abad ke-9 Masehi.

UNESCO memandang keberadaan Masjid Agung Samarra terancam. Menurut badan PBB tersebut, sejak invasi Amerika Serikat (AS) ke Negeri 1001 Malam beberapa waktu lalu itu, pasukan AS dan koalisinya kerap melakukan pengeboman ke tempat-tempat suci di Irak, yang memiliki nilai sejarah tinggi.

photo
Dinding Masjid Agung Samarra

Masjid ini sedikitnya pernah dua kali diserang, yang terakhir terjadi pada 13 Juni 2007. Serangan pertama terjadi pada 2006, berupa serangan bom yang menghancurkan kubah emas masjid itu. Peristiwa ini memicu aksi saling balas serangan antara Muslim Suni dan Syiah di Irak.

Sosok Khalifah Al-Mutawakkil

Al-Mutawakkil adalah khalifah ke-10 dari Dinasti Abbasiyah. Ia diangkat sebagai khalifah menggantikan saudaranya, Al-Wasiq. Menurut Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Khilafah, Al-Mutawakkil berkuasa dari tahun 847 hingga 861 M. Namun, versi lain menyebutkan, ia memerintah selama periode 833 hingga 861 M.

Saat berkuasa, Al-Mutawakkil melakukan berbagai langkah untuk memastikan basis kekuatannya. Antara lain, dengan menyingkirkan tokoh yang kurang menyenanginya, mengangkat para pendukungnya, dan menunjuk ketiga putranya untuk menjadi calon khalifah bertingkat. Ketiga anaknya itu, untuk sementara diangkat menjadi gubernur. Putra sulungnya, Al-Muntasir, diangkat menjadi gubernur di Mesir. Sementara Al-Mu'tazz menjadi gubernur di wilayah timur, dan Al-Muayyad menjadi gubernur di Suriah dan Palestina.

Di samping itu, secara sistematis Al-Mutawakkil melanjutkan kebijakan untuk merombak struktur pemerintahan lama. Salah satunya adalah dengan tidak lagi menjadikan ajaran Mu'tazilah sebagai ideologi resmi kekhalifahan. Ia juga berusaha menyingkirkan golongan Alawiyah (Syiah) dan sebaliknya berusaha membina basis dukungan di kalangan Suni, terutama pengikut mazhab Syafii dan Hanbali.

Langkah ini memicu pergolakan dan pemberontakan. Karena kecewa dan putus asa atas tindakan khalifah, kalangan militer Turki melakukan kudeta. Dalam kudeta yang terjadi pada 10 Desember 861 Masehi tersebut, Al-Mutawakkil terbunuh oleh para pemberontak. Konon, pembunuhan terhadap Al-Mutawakkil ini merupakan bagian dari plot yang direncanakan oleh putranya sendiri, pangeran Al-Mustansir. Peristiwa ini menandai dimulainya masa anarki Dinasti Abbasiyah yang berkobar hingga tahun 870.

Orang-orang Turki

Ketika berkuasa, Al-Mutawakkil terus mengandalkan para bangsawan Turki dan pasukan budak untuk meredam pemberontakan dan memimpin pasukan menghadapi kekuatan asing, seperti Bizantium yang wilayah kekuasaannya di Sisilia berhasil direbut. Salah seorang wazirnya yang seorang Turki, Al-Fath bin Khaqan, adalah tokoh terkenal di masa pemerintahannya.

Namun, kepercayaannya pada orang Turki berbalik menghantuinya. Ia memerintahkan pembunuhan terhadap panglima tertingginya yang merupakan orang keturunan Turki. Akibatnya, hal ini menyebabkan pengaruhnya melorot drastis. Selain itu, ia juga memindahkan ibu kota pemerintahan Abbasiyah ke Samarra. Langkah ini untuk mengurangi pengaruh Turki dalam pemerintahan Abbasiyah.

Pemerintahan Al-Mutawakkil diingat akan reformasi-reformasinya dan dipandang sebagai masa keemasan Dinasti Abbasiyah. Ia adalah khalifah terbesar terakhir dari Dinasti Abbasiyah. Karena setelah kematiannya, pengaruh dan kekuasaan Abbasiyah mulai memudar.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement