REPUBLIKA.CO.ID, Hidayah dan berubah menjadi sosok baik itu hak untuk semua manusia termasuk para narapidana. Dari sini tak heran jika Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas 1 Lowokwaru Kota Malang berusaha membangun sebuah pesantren di balik jeruji.
Menjelang siang, para santri narapidana tampak berlalu-lalang memasuki Masjid At-Taubah. Beberapa di antaranya terlihat khusyuk menjalankan shalat sunah dan lainnya fokus mengaji Alquran.
Tak jauh dari masjid, terdengar lantunan ayat Alquran di bangunan sederhana yang dikenal sebagai Pesantren At-Taubah. Di dalamnya terlihat sekelompok pria berbaju koko dan sarung berjejer membaca Alquran secara bersamaan. Mereka tampak tak terganggu untuk terus membaca ayat-ayat Allah di balik jeruji.
Sejak tahun lalu, Lapas Klas 1 Lowokwaru Kota Malang telah mendirikan sebuah pesantren di tengah-tengah jeruji para narapidana. Saat ini terdapat 410 santri mitra binaan yang tengah berusaha mendapatkan hidayahnya. "Nanti kita mau nambah lagi santrinya jadi total 1.000 orang," kata Kalapas Klas 1 Lowokwaru Kota Malang, Farid Junaedi saat ditemui wartawan di kantornya.
Pesantren didirikan tak lepas dari keinginannya untuk membantu para narapidana menjadi sosok lebih baik lagi. Pesantren sebelumnya telah bekerjasama melalui assessment dengan sejumlah psikolog. Kerja sama tersebut bertujuan untuk meramu bagaimana kegiatan pesantren khusus narapidana yang paling tepat untuk diterapkan.
"Kita coba cari tahu konsep pesantren yang tidak membosankan dan para napi dapat merasa betah. Napi yang tidak ikut jadi kepingin ikut," tuturnya.
Tak ada kriteria khusus bagi mereka yang ingin mengikuti kegiatan pesantren bernama At-Taubah tersebut. Napi yang tak tahu sama sekali agama justru yang paling didorong untuk mengikutinya. Terlebih bagi mereka yang memiliki keinginan berubah secara sungguh-sungguh.
Pengajar Pesantren At-Taubah, Mohammad Khoirun Nasirin menjelaskan, kegiatan biasanya dimulai pada pukul 01.30 dini hari setiap harinya. Para santri narapidana memulai harinya dengan shalat tahajud dan shalat tasbih, wirid lalu sahur. Setelah melaksanakan shalat subuh, mereka melakukan tadarus hingga pukul 07.00 WIB.
"Habis itu shalawat lalu shalat Dhuha delapan rakaat. Dan pada pukul 07.30, kita mulai mendapatkan pelajaran agama setiap harinya," jelas pria yang kini berusia 44 tahun tersebut.
Tak hanya baca Alquran dan shalat, para narapidana setiap harinya juga mempelajari hadis dan fiqih dari para ahli. Mereka diajarkan oleh sekitar 25 tenaga pengajar dari lembaga di luar lapas maupun internal. Internal di sini berarti para santri narapidana yang telah dianggap bagus dalam memahami pelajaran agama.
"Jadi mereka yang wisuda kemarin yang dianggap paling bagus diangkat ustaz di sini. Dan Alhamdulillah, kemarin saya diwisuda dan dianggap paling bagus dalam Alquran dan kitab-kitabnya," tambah dia.
Dengan mengikuti kegiatan ini, dia berharap, rekan narapidana lainnya mendapatkan ampunan dan keberkahan dari Allah SWT. Mereka kelak dapat menjalankan aktivitas sesuai dengan jalur agama Allah SWT. Kemudian saat keluar dari lapas mereka bisa membentuk keluarga yang sakinah mawadah dan warahmah.
Selain Khoirun, terdapat narapidana Roni Kurniawan yang dulunya tak tahu sama sekali ajaran agamanya. Dia yang dipidana akibat narkoba ini awalnya tidak bisa membaca Alquran sama sekali. Selama setahun, dia belajar agama termasuk membaca Alquran dari tingkatan Iqra hingga khatam.
Tak ada motivasi khusus Roni untuk mengikuti kegiatan keagamaan di Pesantren At-Taubah. Dia hanya berusaha mendekatkan diri pada Allah SWT dengan mempelajari ilmu-ilmu agama selama di balik jeruji. Dari usahanya ini, tak heran Roni kini dipercaya untuk mengajarkan baca Alquran pada rekan santri lainnya.
"Ya memang ada hidayah ke sana untuk menjadi lebih baik. Saya yang tadinya tidak bisa mengajar Alquran jadi dapat mengajar di sini," jelas pria yang kini berusia 25 tahun tersebut.