REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Grand Sheikh al-Azhar Prof Ahmad Muhammad ath-Thayyib berkunjung ke Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta pada Rabu (2/5). Kedatagannya disambut Ketua Umum PBNU Prof KH Said Aqil Siradj bersama jajaran pengurus PBNU.
"Kehadiran Grand Sheikh al-Azhar Ahmad Muhammad ath-Thayyib ke Indonesia menjadi momen penting untuk saling bertukar pikiran, saling mengingatkan, tentang problem dunia Muslim saat ini," kata Prof KH Said melalui keterangan tertulis kepada Republika.co.id di kantor PBNU, Rabu (2/5).
Prof KH Said mengatakan, PBNU berharap posisi beliau yang sangat penting di Timur Tengah, setidaknya di Mesir, bermanfaat untuk mendiseminasi pemikiran-pemikiran Islam wasathiyah ala Nusantara. Pemikiran Islam wasathiyah sebagai inspirasi gagasan bagi peradaban yang lebih damai.
Ia menerangkan, faktor eksternal pasti ikut andil dalam kekisruhan di Timur Tengah. Sebagaimana faktor internal berupa ideologi ekstrem dan fanatisme kelompok. Bila urusan internal bisa selesai, setidaknya kekuatan nasional negara-negara kaya minyak tersebut meningkat."Dan potensi untuk menghalau kolonialisme dari negara-negara asing bisa lebih maksimal," ujarnya.
Prof KH Said juga menjelaskan, Indonesia menjadi contoh yang baik tentang sudah tuntasnya perselisihan antara Islam dan nasionalisme. Indonesia menunjukkan kenyataan bahwa seorang nasionalis bisa sekaligus menjadi Islamis. Sementara itu, seorang Islamis bisa sekaligus nasionalis.
Ia menyampaikan, karakter keberislaman di nusantara semacam ini adalah hasil dari pergulatan panjang sejarah. Wali Songo menggunakan pendekatan budaya dalam berdakwah. Para ulama pendiri Republik Indonesia hingga kiai atau tuan guru setia terhadap prinsip-prinsip moderatisme yang diajarkan para pendahulunya.
Prof KH Said mengatakan, Pancasila yang menjadi filosofi dan landasan pokok Negara Indonesia merupakan perwujudan dari ajaran Islam nusantara yang menjunjung tinggi moderatisme, toleransi atas kebinekaan dan kearifan budaya. Pancasila merupakan jangkar bagi kapal Indonesia yang ditumpangi oleh lebih dari 250 juta jiwa dengan berbagai etnik dan latar belakang agama yang berbeda.
"Para ulama NU memandang Pancasila sebagai faktor pemersatu bangsa Indonesia dan karenanya NU menjaga persatuan Tanah Air dan kesatuan bangsa Indonesia dan menganggap NKRI sebagai bentuk final yang tidak dapat diubah-ubah," ujarnya.