REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim menegaskan larangan kegiatan politik praktis di tempat ibadah. Tempat ibadah, menurutnya, harus dijaga kesuciannya dari bentuk-bentuk yang dapat menimbulkan konflik antarjamaah.
"Tempat ibadah, apa pun agamanya harus kita jaga kesuciannya. Tempat ibadah tidak boleh dijadikan tempat sebagai ajang yang memicu konflik sengketa hanya karena perbedaan politik praktis dan pragmatis," ujar Lukman ditemui usai kegiatan Temu Kebangsaan, Bogor, Jumat (27/4).
Dalam dunia politik dikatakan ada dua perspektif yang perlu dipahami. Pertama, politik subtantif yang berkaitan dengan ajaran agama. Kedua, politik praktis yang mengajak memilih salah satu calon atau partai tertentu.
Jenis politik yang pertama, contohnya berisi ajaran-ajaran menegakkan keadilan, memenuhi hak dasar manusia, dan kebaikan lain yang wajib diajarkan kepada jamaah. Namun, jenis politik yang kedua ini yang dilarang karena bisa memicu perpecahan antarjamaah.
(Tak Ada Larangan Masjid Sebagai Tempat Pendidikan Politik)
"Yang dilarang adalah politik praktis pragmatis yang disampaikan di tempat ibadah. Misalnya, pilihlah pasangan calon A, jangan pasangan calon B, pilihlah partai A, B, pilihlah capres ini, jangan capres itu," ujarnya.
Lukman lalu berharap agar para aktor politik dan penceramah agama tidak membawa politik praktis ke dalam tempat-tenpat ibadah ini. Kesucian dan kedamaian antarumat beragama harus dijaga agar konflik tidak muncul di tengah-tengah masyarakat di tahun politik ini.
"Kalau rumah ibadah dijadikan tempat ajang pertikaian, konflik, maka tidak hanya konflik antaragama yang terjadi tapi juga konflik antarsendi-sendi kita dalam berbangsa dan bernegara ini runtuh. Karena bangsa ini dibangun dengan nilai-nilai agama," lanjutnya.