REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Indonesia dan Dompet Dhuafa mendorong semua pemangku kepentingan segera mengembangkan mekanisme dan standard operating procedure (SOP) penanganan pengungsi serta pencari suaka di bidang pendidikan dan kesehatan.
Direktur Program Dompet Dhuafa Sabeth Abilawa mengatakan, Indonesia belum meratifikasi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1951 terkait pengungsi dan pencari suaka. Tetapi Indonesia tetap perlu mendorong adanya upaya dan regulasi yang berkelanjutan, terencana serta sistematis.
"Dompet Dhuafa terus bekerja sama dan menjadi penggerak dalam kasus kemanusiaan di dunia internasional, bersinergi dan berkolaborasi dengan lembaga-lembaga nasional maupun internasional adalah langkah kami untuk menuntaskan permasalahan bagi para pengungsi," kata Sabeth melalui keterangan tertulis kepada Republika.co.id, Kamis (26/4).
Ia menerangkan, untuk merespons isu pengungsi dan pencari suaka yang kondisinya cukup memprihatinkan, Dompet Dhuafa membuat School for Refugees. Tujuannya memberikan aktivitas positif sebagai bentuk trauma healing sekaligus pembelajaran Bahasa Indonesia bagi anak-anak pengungsi.
Dompet Dhuafa juga bekerja sama dengan United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR). Dompet Dhuafa dan UNHCR memfasilitasi kesehatan dasar pengungsi dengan tujuan mengurangi angka kematian ibu dan bayi di masa persalinan.
"Diharapkan kerja sama antara PAHAM Indonesia dan Dompet Dhuafa untuk mendukung upaya pengembangan dan penguatan mekanisme (penanganan pengungsi serta pencari suaka di bidang pendidikan dan kesehatan)," ujarnya.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hak Asasi Manusia dan Hukum. Di Indonesia ada 14.364 pengungsi dan pencari suaka pada tahun 2017. Juga ada sekitar 1.958 pengungsi tinggal di rumah detensi imigrasi, 2.062 di ruang tahanan kantor imigrasi, dan 32 di Direktorat Jenderal Imigrasi.
Sekitar 4.478 pengungsi juga tinggal di rumah komunitas dan 5.382 pengungsi hidup sebagai pengungsi independen. Masalah pengungsi adalah hasil dari krisis kemanusiaan di negara asal mereka. Misalnya krisis kemanusiaan di Myanmar yang telah mempengaruhi warga etnis Rohingya. Contoh lainnya kemungkinan diakibatkan adanya penindasan militer dan pemerintah terhadap etnis minoritas (Muslim) di Thailand Selatan dan Filipina Selatan.
Sementara menurut data UNHCR sampai 31 Desember 2016, ada 7.154 pengungsi dari Afghanistan (49,7 persen), 1.446 pengungsi dari Somalia (10 persen), dan 954 pengungsi dari Myanmar (6,6 persen). Kemudian, ada 946 pengungsi dari Irak (6,5 persen), 725 pengungsi dari Nigeria (5 persen), 540 pengungsi dari Sri Lanka (3,7 persen ) dan 2.640 pengungsi lainnya dari berbagai negara.