Rabu 25 Apr 2018 19:38 WIB

Ijtima' MUI akan Jadi Legitimasi Syar'iah Pemotongan Zakat

Manfaat zakat yang dikelola secara bersama lebih jelas dalam mengentaskan kemiskinan.

Rep: Muhyiddin/ Red: Agus Yulianto
Kepala Sub Direktorat Pengawasan Lembaga Zakat Kemenag, M Fuad Nasar
Foto: ROL/Abdul Kodir
Kepala Sub Direktorat Pengawasan Lembaga Zakat Kemenag, M Fuad Nasar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertemuan atau Ijtima' Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang akan digelar di Banjarmasin pada 6 Mei 2018 mendatang, akan menjadi legitimasi syariah bagi Kementerian Agama untuk memberlakukan kebijakan pemotongan zakat 2,5 persen untuk gaji Aparatur Sipil Negara (ASN).

 

Hal ini disampaikan Direktur Pemberdayaaan Zakat dan Wakaf Ditjen Bimas Islam Kemenag, M Fuad Nasar dalam diskusi panel tentang dunia perzakatan Indonesia yang digelar Bamuis BNI di Jakarta, Rabu (25/4). Menurut dia, pihaknya sudah menitipkan kepada MUI untuk mengangkat materi tentang zakat profesi dalam Ijtima' Komisi Fatwa MUI tersebut.

 

"Itu akan menjadi legitimasi syar'i ketika pemerintah membuat aturan untuk menghimpun potensi zakat penghasilan karyawan atau pegawai yang beragama Islam di lingkungan kementrian, lembaga, UMN BUMD. Ini yang sedang kita lakukan, persiapkan dengan sebaik-baiknya," ujar Fuad saat menjadi pembicara dalam diskusi panel tersebut.

 

Namun, saat ditanya soal target Kemenag untuk mengajukan Peraturan Pemerintah (Perpres) tentang pemotongan zakat ASN, Fuad mengaku, belum bisa berkomentar lebih jauh. Pasalnya, saat ini, masih melakukan pengkajian mendalam.

 

"Kalau soal Perpres saya belum berkomentar. Sekarang kita fokus pada penyiapan fatwa-fatwa MUI berkaitan dengan zakat penghasilan profesi, seperti masalah nisab, kemudian masalah mekanisme penyisihannya, apakah dihitung dari penghasilan bruto atau netto, itu yang perlu disiapkan dulu," ucapnya.

 

Sementara Dewan Syariah MUI sekaligus Ketum Ikadi, Ahmad Satori Ismail mengatakan, pemerintah saat ini sudah semakin peduli dengan zakat yang memang merupakan rukun Islam yang terlantar. Karena itu, Kementerian Agama mencoba mengeluarkan kebijakan tentang zakat profesi tersebut dengan bahasa yang lebih baik, sehingga tidak mengundang kontroversi.

 

"Bahkan dalam aturan itu yang dilakukan Kemenag bahasanya tidak dipotong tapi sisihkan. Bukan dipotong sebesar 2,5 persen, tapi bersedia 2,5 persen dari penghasilannya," kata Satori.

 

Menurut Satori, pemotongan zakat di berbagai lembaga sebenarnya sudah berjalan lama, begitu juga di beberapa daerah. Karena, menurut dia, manfaat zakat yang dikelola secara bersama-sama itu lebih jelas di dalam mengentaskan kemiskinan dan juga membuat program-program keumatan.

 

"Alhamdulillah tentang pemotongan zakat di berbagai lembaga sudah berjalan lama. Di departemen-departemen sudah memotong. Di beeberapa daerah juga memotong langsung dari itu," jelas Satori saat ditemui usai menjadi pembicara dalam diskusi panel tersebut.

 

Diskusi panel tersebut juga diikuti Wakil Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus Dewan Syariah Bamuis BNI, Prof Muhammad Amin Suma. Dia menjelaskan, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) sebagai mitra Kemenag sebelumnya memang meminta MUI untuk membuatkan fatwa tentang zakat profesi tersebut.

 

MUI kemudian mengeluarkan fatwa tersebut. Namun, tiba-tiba Baznas membuat ketentuan yang berbeda tentang zakat profesi ini. Perbedaanya, menurut dia, dalam menentukan zakat ASN tersebut, MUI menganalogikan nisabnya pada emas 85 gram, sedangkan Baznas dan Kemenag menganalogikan nisabnya ke pertanian 653 kilogram beras atau gabah.

 

Namun, Amin Suma kini bersyukur, karena permasalahan tersebut kini sudah selesai dan akan diperkuat dalam forum Ijtima Komisi Fatwa MUI. "Alhamdulillah betul Pak Fuad tadi menyampaiakan hal itu sudah dibahas dalam mudzakarah di hotel Borobudur dan saya hadir. Betul akan dibawa ke Ijtima Banjarmasin, sehingga caranya clear," tuturnya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement