REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Ni'am Sholeh meminta masyarakat dan media massa melihat fatwa tentang imunisasi secara utuh, bukan sepotong-sepotong karena dapat menimbulkan pemahaman berbeda terhadap fatwa tersebut.
"MUI telah mengeluarkan sejumlah fatwa terkait imunisasi. Ada yang mengutip saya sepotong-sepotong sehingga masyarakat memahami fatwa tentang imunisasi secara berbeda," kata Ni'am dalam seminar yang diadakan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) di Jakarta, Rabu (25/4).
Mantan ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) itu mengatakan MUI pada 2002 mengeluarkan fatwa tentang penggunaan vaksin polio khusus IPV. Menurut fatwa tersebut, pada dasarnya penggunaan obat-obatan, termasuk vaksin, yang berasal dari atau mengandung benda najis atau benda terkena najis adalah haram.
"Namun, pemberian vaksin IPV kepada anak-anak yang menderita immunocompromise, pada saat ini dibolehkan, sepanjang belum ada IPV jenis lain yang suci dan halal," ujarnya.
Begitu pula pada 2005, MUI mengeluarkan fatwa tentang penggunaan vaksin polio oral (OPV) yang menyatakan pemberian vaksin OPV kepada seluruh balita, dibolehkan sepanjang belum ada OPV jenis lain yang produksinya menggunakan media dan proses yang sesuai dengan syariat Islam. "Fatwa MUI yang membolehkan imunisasi polio akhirnya diterima masyarakat dan nyaris tidak ada masalah," katanya.
Tentang imunisasi secara keseluruhan, MUI juga telah mengeluarkan Fatwa Nomor 4 Tahun 2016 tentang Imunisasi. Menurut fatwa tersebut, imunisasi pada dasarnya dibolehkan atau mubah sebagai bentuk ikhtiar mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah suatu penyakit tertentu.
Fatwa tersebut juga mensyaratkan vaksin imunisasi wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci. Penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram dan atau najis hukumnya haram.
Namun, terkait hukum haram vaksin yang berbahan haram dan atau najis, fatwa tersebut mengecualikan bila digunakan pada kondisi al-dlarurat atau al-hajat, belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci, dan ada keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal. "Bila sampai terjadi kejadian luar biasa, tentu diperbolehkan," ujarnya.
Kemudian, fatwa tersebut juga menyebutkan dalam hal bila seseorang yang tidak diimunisasi akan menyebabkan kematian, penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa, berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, imunisasi hukumnya wajib. Imunisasi tidak boleh dilakukan jika berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, menimbulkan dampak yang membahayakan.
Pengurus Pusat IDAI mengadakan Seminar Pekan Imunisasi Dunia 2018 bertema "Capai Imunisasi Lengkap: Bersama Melindungi dan Terlindungi". Selain Niam, pembicara lain pada seminar itu adalah Ketua Satuan Tugas Imunisasi IDAI Prof Cissy B Kartasasmita, Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Vesya Sitohang , Ketua I PP IDAI Piprim B Yanuarso dan Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Pengendalian Infeksi Indonesia (Perdalin) Hindra Irawan Satari. Organisasi Kesehatan Dunia menetapkan Pekan Imunisasi Internasional pada setiap pekan terakhir April, yaitu 24 April hingga 30 April setiap tahun.