Senin 16 Apr 2018 15:53 WIB

Masjid Para Tumenggung Mataram

Masjid memiliki peran vital Mattaram menghadapi penjajah.

Masjid Al Alam Marunda.
Foto: Jakarta.go
Masjid Al Alam Marunda.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab, Wartawan Senior Republika

Untuk mencapai Pantai Marunda, Jakarta Utara, kita harus mau sedikit bersusah payah. Jalan paling dekat dapat ditempuh melalui Cilincing dengan kendaraan umum, untuk kemudian naik ojek ke Kawasan Berikat Nasional (KBN) Marunda. Dari sini kita masih harus naik perahu sekitar lima menit. Dan, sampailah kita di Masjid Marunda, yang diberi nama Al-Alam, terletak tidak jauh dari Pantai Marunda.

Masjid Marunda, yang dulunya hanyalah sebuah surau masih terlihat jelas kekunoannya sekalipun telah beberapa kali mengalami pemugaran. Menurut Dinas Sejarah dan Pemugaran DKI Jakarta, masjid di tepi pantai Marunda ini memiliki sejarah panjang. Mengutip keterangan masyarakat setempat, masjid ini dibangun oleh Falatehan, saat hendak menghalau Portugis dari Sunda Kelapa. Dari tempat inilah, panglima dan ulama dari Demak itu mengonsentrasikan pasukannya terlebih dulu sebelum menaklukkan Portugis pada 22 Juni 1527, yang kemudian dijadikan sebagai kelahiran kota Jakarta.

Tepat satu abad kemudian, Masjid Marunda kembali menjadi markas perjuangan melawan penjajahan, ketika Sultan Agung dari Kerajaan Mataram melancarkan dua kali ekspedisi ke Batavia, pada 1628 dan 1629. Lepas dari kegagalan segi militer untuk merebut kembali Batavia dari penjajah Belanda, tapi proses Islamisasi di kota ini telah mendapatkan mementum baru. Karena ternyata, para tumenggung dari Kerajaan Mataram di samping prajurit-prajurit yang gagah, juga juru dakwah yang andal. Mereka inilah yang membangun surau-surau di Jakarta, yang kelak di awal abad ke-18 menjadi masjid-masjid.

Ketika prajurit-prajurit Mataram itu mendarat di pantai Marunda di Cilincing ini, mereka bersembunyi dan juga memugar Masjid Marunda. Sambil mengatur siasat perlawanan terhadap Belanda. Dengan demikian, kembali masjid ini telah memainkan peranan penting sebagai tempat penggemblengan mental para gerilyawan Mataram, di samping tentunya sebagai tempat ibadah.

Melihat sejarahnya itu, tidak heran kalau pada masa revolusi fisik tahun 1945, dari Masjid Marunda dikumandangkan semangat //jihad fi sabilillah// oleh para ulama dan pejuang. Sehingga daerah Marunda sangat dibanggakan dalam perjuangan RI mempertahankan kemerdekaan, karena menjadi ajang pertempuran antara para pejuang dengan tentara NICA.

Mengingat semangat masyarakatnya yang demikian gigih, tentara Belanda yang kalap kemudian membakar habis daerah Marunda, menyebabkan banyak korban jiwa. Namun Masjid Marunda masih tetap menjalankan fungsinya sebagai 'baitullah'.

Para balatentara Mataram sekalipun gagal merebut Jakarta, tapi banyak yang tetap tinggal di Jakarta dan mereka menyebar di berbagai tempat. Rupanya, semangat keagamaan para tumenggung dari Kerajaan Islam Mataram ini tidak pernah surut. Setelah gagal mengusir VOC atau Kompeni secara fisik dan kekerasan, mereka pun melakukan cara-cara lain.

Dengan cara mendirikan masjid-masjid, yang sekaligus dijadikan sebagai tempat pembinaan mental agama, dan mengobarkan semangat menentang penjajahan. Di antara masjid yang dibangun para tumenggung dari Mataram ini, di samping Masjid Marunda, juga Masjid Al-Mansyur di Kampung Sawah, Kelurahan Tambora, Jakarta Barat dan Masjid Al Makmur di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Tentu masih ada sejumlah masjid lagi yang dibangun oleh para tumenggung dan para keturunannya.

Masjid Al-Mansyur sendiri dibangun oleh keturunan Pangeran Tjakrajaya dari Mataram pada 1717. Masjid ini, pernah diperbaiki kembali karena arah kiblatnya yang tidak benar. Imam Moh Arsyad, seorang tokoh ulama dari Banjarmasin (pengarang kitab terkenal Sabilal Muhtadin) dengan permufakatan bersama para ulama ketika itu, memperbaiki letak kiblat tersebut.

Akhirnya, oleh KH Moh Mansyur, yang masih keturunan bangsawan dari Mataram, masjid ini diperluas pada 25 Sya'ban 1356 Hijriah (1957). Nama Mansyur hingga sekarang diabadikan untuk nama masjid tersebut. Seperti juga pendahulu-pendahulunya, oleh Mansyur, ulama yang sangat dikenal luas di Betawi, masjid ini sekaligus dijadikan pula sebagai tempat penggemblengan para jamaah tentang cinta Tanah Air dan kewajiban untuk membelanya.

Tanpa merasa takut terhadap ancaman Belanda, pada masa revolusi fisik di masjid ini dipancangkan Sang Saka Merah Putih. Tidak heran, kalau masjid ini pada 1947-1948 pernah ditembaki dan digrebek oleh tentara NICA. KH Moh Mansyur sendiri digiring ke markas polisi Belanda, yang kala itu terletak di Gambir, depan Museum Nasional.

Saat diinterogasi oleh serdadu-serdadu Belanda, kiai patriotik yang wafat 1967 itu dengan tegas mengatakan: 'Setiap bangsa punya bendera sendiri, seperti juga bangsa Belanda.'

Masjid lainnya yang dibangun para temanggung Mataram, adalah Masjid Al-Makmur, yang letaknya sekitar 100 meter dari Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Masjid, yang sampai tahun 1950-an merupakan salah satu masjid terbesar di Jakarta, awalnya hanyalah sebuah surau sangat sederhana. Seperti juga masjid-masjid tua di Jakarta, dahulunya rata-rata berukuran 12x10 meter persegi, dengan empat buah tiang panjang sebagai penyanggahnya.

Masjid ini dibangun oleh kedua putra Raden Busyo, yang dikenal dengan nama KH Muhammad Asyuro, seorang bangsawan Mataram. Kedua putranya itu adalah KH Abdul Somad Asyuro dan KH Abdul Murad Asyuro.

Kakak beradik ini, yang merupakan juru dakwah andal pada awal-awal Kerajaan Mataram, membangun surau itu pada 1527 M atau 920 Hijriah, saat berkembangnya Islam di Jakarta. Bersamaan dengan bergabungnya tentara Islam dari Demak dan Banten dipimpin oleh Falatehan.

Dalam perkembangannya, masjid ini diperluas pada 1910, setelah pengurusnya menerima hibah tanah wakaf dari dua orang dermawan keturunan Arab. Setelah perluasan, ukuran masjid ini menjadi 44x22 meter persegi.

Ridwan Saidi, dalam bukunya Betawi dalam Perspektif Kontemporer menulis, bahwa pada akhir abad ke-18, para perantau dari Hadramaut (Yaman), memberikan darah segar bagi perkembangan dakwah Islam di Jakarta. Sedangkan menurut CC Berg, orang-orang Arab ini mula-mula datang berniaga. Tetapi, akhirnya terlibat dalam dakwah.

Di antara mereka yang terkenal adalah Sayid Husein bin Abubakar Alaydrus pendiri Masjid Luar Batang, Pasar Ikan, Jakarta Utara. Dia dimakamkan di masjid yang dibangunnya itu sekitar 300 tahun lalu, dan makamnya hingga kini banyak diziarahi orang.

Sekitar dua km dari Pasar Ikan, yakni di Jl Lodan, Kampung Bandan, Jakarta Utara, terdapat sebuah masjid yang juga dibangun oleh seorang sayid. Masjid Kampung Bandan ini dibangun oleh Sayid Muhammad bin Umar Alqudsi (1705). Sedangkan Masjid Mangga Dua di Jalan Pangeran Jayakarta dibangun oleh Sayid Jamalullail pada 1756.

Masih sederetan lagi masjid tua di Jakarta. Seperti Masjid Langgar Tinggi dan Masjid Kampung Baru, keduanya di Pekojan, Jakarta Barat yang dibangun oleh para imigran dari India hampir pada waktu bersamaan. Atau Masjid Kebon Jeruk, di Jalan Hayam Wuruk Jakarta Barat yang dibangun oleh seorang imigran Cina, pada pertengahan abad ke-18.Dinas Museum dan Pemugaran DKI Jakarta, telah menjadikan masjid-masjid tua itu sebagai cagar budaya yang dilindungi keberadaannya agar terpelihara kelestariannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement