Rabu 21 Mar 2018 17:34 WIB

Makna di Balik Arsitektur Masjid Tua Palopo

Denahnya berbentuk segi empat yang agaknya dipengaruhi bentuk denah candi di Jawa.

Masjid Tua Palopo
Foto: wikipedia
Masjid Tua Palopo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ukuran bangunan utama Masjid Tua Palopo yaitu 11,9 m x 11,9 m, tinggi 3,64 m, dengan tebal dinding 0,94 m yang terbuat dari batu cadas yang direkatkan dengan putih telur. Denahnya berbentuk segi empat yang agaknya dipengaruhi bentuk denah candi-candi di Jawa.

 

Dijelaskan oleh Maria I Hidayatun dalam artikelnya, Pendopo dalam Era Modernisasi, bentuk segi empat mengandung makna filosofis dan fungsional. Yang pertama berarti bahwa bentuk geometri tersebut sebetulnya adalah ungkapan dari makro kosmos (dunia). Sedangkan, makna yang kedua melambangkan persamaan dan kesetaraan siapa saja yang berada di dalamnya.

 

Atap Masjid Tua Palopo berbentuk piramida beratap tiga dan di puncaknya terdapat tempayan keramik yang merepresentasikan keesaan Tuhan. Konsep atap yang demikian itu memiliki kemiripan dengan atap joglo pada bangunan di Jawa, yang juga dikenal dengan nama tajug. Kontak kebudayaan antara masyarakat Sulawesi Selatan dengan Jawa sudah terjadi beberapa abad sebelum penyebaran agama Islam.

Jazirah Sulawesi Selatan tertulis dalam Kitab Negarakartagama karya Empu Prapanca pada masa Gadjah Mada (1364). Kata Makassar secara eksplisit disebut dalam sarga XIII dan XIV dan diklaim telah masuk dalam wilayah Majapahit.

 

Terdapat dua pendapat seputar bentuk atap Masjid Tua Palopo ini. Yang pertama mengatakan bahwa atap tersebut mendapat pengaruh dari arsitektur Jawa. Sementara yang kedua menolak pendapat itu, dengan berargumen bahwa bentuk tersebut merupakan pengembangan dari konsep lokal masyarakat Sulawesi Selatan sendiri. Namun demikian, mengingat hubungan antara kedua masyarakat telah terjalin begitu lama, wajar jika terjadi akulturasi budaya.

 

Konsep atap piramidal susun tiga menyimbolkan pusat vertikal menuju pada satu titik, yaitu Tuhan Yang Mahakuasa. Makna yang terkandung di dalamnya dipengaruhi oleh pemahaman sufistik yang menekankan aspek moral dan spiritual. Atap pertama atau atap paling bawah melambangkan syariah; atap yang tengah melambangkan thariqah; atap paling atas melambangkan hakikat; dan puncak atap (mustaka masjid) berbentuk tempayan dari keramik melambangkan makrifat.

 

Tahapan di atas menggambarkan jalan hidup tasawuf. KH Ali Yafie menjelaskan, tasawuf mengajarkan seorang Muslim hidup bersih, bersahaja, tekun beribadah kepada Allah, serta saling menasihati ke jalan yang diridai Allah, yaitu jalan pengamalan syariah dan penghayatan haqiqah dalam sistem thariqah untuk mencapai ma'rifah.

Ma'rifah berarti pengenalan keesaan Allah dalam wujud semesta dan wujud dirinya sendiri. Pada titik pengenalan ini akan terpadu makna tawakal dalam tauhid, yang melahirkan sikap pasrah total kepada Allah, dan melepaskan dirinya dari ketergantungan mutlak kepada sesuatu selain Allah.

 

Susunan atap pertama dan kedua disangga empat tiang yang terbuat dari kayu cengaduri, dengan tinggi 8,5 meter dan berdiameter 90 cm. Keempat tiang tersebut dalam konsep Jawa disebut sokoguru.

Sementara itu, atap paling atas ditopang dengan satu tiang terbuat dari kayu yang sama. Dalam kearifan lokal Sulawesi Selatan, satu tiang penyangga atap paling atas yang didukung oleh empat tiang lainnya merefleksikan yang sentral (wara) dikelilingi oleh unsur-unsur lain di luar yang sentral (palili). Konsep siri' dan pesse, yang telah dijelaskan di atas direfleksikan dalam penyusunan tiang tersebut.

 

Unsur arsitektur lain yang merupakan ekspresi religiositas masyarakat setempat adalah barisan jendela berjumlah tujuh yang berada di sisi kanan dan kiri dinding masjid. Dalam tradisi Islam, angka tujuh memiliki arti yang dalam, karena angka itu sesuai dengan jumlah hari dalam satu minggu, dan sesuai pula dengan jumlah tingkatan langit yang pernah dilalui Nabi Muhammad SAW dalam isra' dan mikraj.

 

Sejauh ini telah dilakukan beberapa kali renovasi untuk perbaikan masjid. Renovasi pertama pada 1700 M dengan perbaikan pada lantai. Kedua, pada 1951, mengganti lantai yang lama dengan lantai dari tegel yang didatangkan dari Singapura. Renovasi ketiga pada 1981 untuk memperbaiki seluruh bagian masjid yang rusak. Sedangkan pada renovasi keempat dan kelima dengan menambahkan luas bangunan hingga seperti yang sekarang ini. Lahan masjid ini seluas 1.680 m2.

 

Bentuk arsitektur Masjid Tua Palopo secara keseluruhan menunjukkan nilai-nilai kebudayaan lokal yang berakulturasi dengan nilai-nilai dari luar, terutama Islam dan Jawa. Meski demikian, bagian inti dari kebudayaan setempat, yang disebut Koentjaraningrat sebagai covert culture, tidak berubah. Beberapa bagian dari arsitektur Masjid Tua Palopo merefleksikan nilai-nilai lokal yang menitikberatkan kepada siri' dan pesse. Martabat seorang manusia harus ditunjang dengan sikap sepenanggungan, seperasaan, dan kesetiakawanan antarsesama.

 

Perubahan kebudayaan terjadi pada bagian perwujudan yang lahir dari kebudayaan atau covert culture masyarakat. Denah masjid, bentuk atap, dan bahan bangunan berupa batu cadas mendapatkan pengaruh dari seni bina Jawa dan candi-candi di tanah Jawa. Kekayaan seni arsitektur dan maknanya ini hasil dari keterbukaan sikap masyarakat Sulawesi Selatan terhadap unsur-unsur budaya dari luar.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement