Selasa 20 Mar 2018 08:43 WIB

Ketua MUI Sumbar Mundur Sebagai Dosen IAIN Bukittinggi

Buya prihatin dengan pelarangan cadar, apalagi di kampus yang islami pula

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Bilal Ramadhan
Kegiatan kemahasiswaan di IAIN Bukittinggi tetap berjalan seperti biasa, meski polemik tentang pembatasan cadar masih bergulir.
Foto: Republika/Sapto Andika Candra
Kegiatan kemahasiswaan di IAIN Bukittinggi tetap berjalan seperti biasa, meski polemik tentang pembatasan cadar masih bergulir.

REPUBLIKA.CO.ID, BUKITTINGGI -- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatra Barat, Gusrizal Gazahar, melayangkan surat pengunduran dirinya dari tugas sebagai dosen di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi. Buya Guzrizal memang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di IAIN Bukittinggi sebagai dosen ushul fiqih di Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

Ia menyebut pengunduran dirinya sebagai sikap atas tidak sejalannya kebijakan yang diambil kampus soal pelarangan cadar di lingkungan akademik, dengan pandangan yang ia miliki. Buya Gusrizal menyebutkan, ia sudah berupaya untuk memberikan masukan terkait kebijakan soal pembatasan cadar.

Namun pendekatan yang ia lakukan dengan rektorat IAIN Bukittinggi tak membuahkan hasil. Buya Gusrizal mengaku heran, sesuatu yang halal dalam syariat Islam justru dilarang tanpa alasan yang logis baginya.

"Bagaimana saya mempertanggungjawabkannya kelak di hadapan Allah SWT? Saya memikul amanah sebagai Ketua MUI di Sumatera Barat. Sudah saya kritisi dari dalam dan luar tapi respons mereka demikian," jelas Buya Gusrizal, Selasa (20/3).

Melalui surat pengunduran diri yang dibuatnya, Buya Gusrizal berharap kampus IAIN Bukittinggi bisa lebih bijak dalam menyelesaikan polemik kebijakan bercadar. Bila surat ini disetujui kampus, maka Buya Gusrizal tidak lagi aktif sebagai dosen per April 2018 mendatang.

"Dalam pertimbangan awal pelarangan adalah radikalisme bisa menyusup melalui cadar. Itu yang sulit sekali saya terima," katanya.

Sebelumnya, Gusrizal melihat bahwa kekhawatiran pihak kampus bahwa pemakaian cadar akan membatasi komunikasi antara dosen dan mahasiswa bisa dipatahkan. Menurutnya, pembinaan tidak menuntut seseorang harus melihat wajah mahasiswinya, kecuali bagi mereka yang gemar memandang wajah perempuan yang bukan mahramnya.

"Apakah teori pembinaan hari ini menuntut pandang-memandang seperti itu? Saya tidak tahu, apakah ini pernyataan yang keluar dari akal yang berisi ilmu atau akal yang dikuasai nafsu," katanya.

Gusrizal menambahkan, paling tidak ada dua alasan mengapa cadar tidak bisa dilarang di kampus, apalagi institusi yang mengusung agama Islam di dalamnya. Alasan pertama, lanjutnya, bahwa penggunaan cadar adalah hak muslimah.

Sedangkan alasan kedua, bahwa pemakaian cadar adalah bagian dari pilihan menjalankan pandangan dan anjuran ulama. "Bercadar itu diridhai Rasulullah. Istri-istri beliau, sahabat perempuan semasa beliau, banyak yang mengenakan cadar. Kita umat Nabi Muhammad, tapi kok melarang bercadar. Di kampus Islami pula," jelasnya.

Gusrizal juga mengingatkan bahwa pandangan ulama terhadap penggunaan cadar berbeda-beda. Meski begitu, Gusrizal menilai bahwa khilafiah-nya bukan persoalan boleh atau tidaknya. Tapi, tentang tingkatan pensyariatannya.

"Apakah wajib, sunat atau sebatas mubah," jelas Buya Gusrizal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement