REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berabad-abad yang lampau, orang-orang Mongol dikenal sebagai bangsa penakluk yang paling ditakuti. Hampir seperempat daratan di dunia berhasil mereka tundukkan dalam waktu relatif singkat. Namun, seiring perjalanan sejarah, mereka kini hanya mendiami sebuah kawasan Asia Tengah yang disebut sebagai Republik Mongolia.
Secara geografis, Mongolia berbatasan langsung dengan Rusia di utara, serta Cina di sebelah selatan, barat, dan timur. Sekira 80 persen dari wilayah negeri itu terdiri dari tanah tandus yang kebanyakan berupa padang rumput (stepa). Sementara, dari bagian tengah hingga selatannya membentang Gurun Gobi.
Penduduk yang mendiami Mongolia hari ini diperkirakan hanya sebanyak tiga juta jiwa. Mayoritas dari mereka adalah penganut Budha. Meski demikian, ada juga sejumlah kecil penduduk Mongolia yang memeluk Islam.
Menurut Pew Research Center, jumlah Muslim di Mongolia saat ini diperkirakan mencapai lima persen dari total populasi negara itu. Sebagian besar dari mereka berasal dari etnis Kazakh yang umumnya tersebar di Bayan-Ölgii dan Khovd, dua provinsi yang terletak di bagian barat Mongolia.
Muslim etnis Kazakh mulai menetap di Mongolia sejak akhir abad ke-19 silam. Kedatangan mereka di Mongolia pada waktu itu untuk melarikan diri dari penganiayaan yang dilakukan Tsar Rusia.
Ketika Bogdo Khan memerintah Mongolia pada 29 Desember 1911, umat Muslim Kazakh di daerah Xinjian dan Altai diberi perlindungan dan hak untuk menetap di wilayah barat Kobdo, Mongolia.
Pada masa pemerintahan rezim komunis antara 1956-1989, populasi Muslim di Mongolia sempat mengalami peningkatan. Namun, antara 1990 - 1993, jumlah Muslim di negeri itu menyusut drastis lantaran adanya gelombang besar repatriasi (gerakan pulang kembali ke tanah leluhur—Red) etnis Kazakh ke Kazakhstan, menyusul runtuhnya Uni Soviet.
Minim
Sejak Mongolia berubah menjadi negara demokratis pada 1990, Islam bebas dipraktikkan oleh penduduk. Mufti Mongolia, Azatkhan Muhanolu menuturkan, jumlah pemeluk Islam di Mongolia hari ini tidak kurang dari 170 ribu jiwa.
Sayangnya, masjid yang ada di negeri itu masih sangat sedikit jumlahnya, yakni hanya 27 buah. “Itu pun bangunannya kecil-kecil. Oleh karenanya, masih diperlukan kerja keras untuk membangun kehidupan beragama yang lebih baik di kalangan Muslim Mongolia,” ujarnya.
Muhanolu mengaku, minimnya fasilitas ibadah dan pendidikan agama menjadi salah satu persoalan yang dihadapi Muslim Mongolia. Untuk itu, saat ini dia tengah berupaya menggalang dana dari negara-negara Muslim, terutama Turki, untuk membantu pembangunan sarana pendidikan Islam di Mongolia.