REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski Muslim Prancis kerap menjadi sasaran aksi diskriminasi dan kekerasan, jumlah mereka terus bertambah dari hari ke hari. Alhasil, kebutuhan akan masjid pun terus meningkat.
Saat ini, jutaan umat Islam di negeri itu menginginkan peningkatan jumlah masjid, setidaknya dua kali lipat dalam waktu dua tahun ke depan. Keinginan itu disuarakan oleh Mantan Presiden Dewan Muslim Prancis Dalil Boubakeur kepada jaringan televisi France 24, pekan lalu. Ia mengatakan, 2.200 masjid di negara itu belum cukup untuk memenuhi kebutuhan Muslim Prancis akan tempat ibadah.
Menurut dia, peningkatan jumlah masjid menjadi dua kali lipat dalam waktu dua tahun bukanlah hal yang tak masuk akal. “Saat ini terdapat banyak ruang shalat, masjid yang belum selesai dibangun, dan banyak pula masjid yang belum dibangun,” kata Boubakeur pada pertemuan tahunan organisasi Islam Prancis.
Pada pertemuan yang ke-32 ini, lebih dari 250 perwakilan Muslim dari seluruh Prancis hadir dan membahas berbagai isu penting, di antaranya keputusan Kementerian Dalam Negeri Prancis untuk melawan segala bentuk radikalisasi. Isu lainnya adalah perlunya meningkatkan jumlah masjid di Prancis, yang kini menjadi negara dengan penduduk Muslim terbesar di Eropa.
Amar Lasfar, presiden Persatuan Organisasi Islam Prancis (UOIF) yang menyelenggarakan pertemuan ini, sangat setuju bahwa jumlah masjid di Prancis harus dilipatgandakan. “Jumlah masjid harus mencerminkan jumlah Muslim (di Prancis),” katanya.
Menurut Boubakeur, saat ini Prancis menjadi rumah bagi 7 juta Muslim, meski angka resmi menyebut jumlah yang lebih sedikit, yakni 4-5 juta Muslim. Dengan jumlah Muslim sebanyak itu, Prancis hanya memiliki sekitar 2.200 masjid.
Bandingkan dengan Inggris yang populasi Muslimnya sekitar 2,8 juta orang, namun memiliki sekitar 1.500 masjid. Sehingga, perbandingannya adalah satu masjid untuk 1.850 orang.
Menurut hukum sekuler Prancis, negara dilarang memberi bantuan keuangan secara langsung untuk pembangunan tempat ibadah. Bahkan, belum lama ini Pemerintah Prancis juga tak mengizinkan pihak asing mendanai pembangunan masjid di negaranya.
Untungnya, kata Lasfar, kini makin sedikit wali kota di Prancis yang secara sistematis menentang pembangunan masjid. Hal inilah yang akan mempermudah pembangunan masjid. “Kami berhak membangun masjid, sebuah hak yang para wali kota itu tak bisa menentangnya,” ujar dia.
Uniknya, keinginan umat Islam akan hadirnya lebih banyak masjid di Prancis mendapat dukungan dari para tokoh Kristen. Mereka menyebut, keinginan kaum Muslimin itu sebagai tuntutan yang sah.
“Muslim, seperti halnya umat Kristen dan Yahudi, seharusnya dapat melaksanakan agama mereka dengan baik,” kata Juru Bicara Keuskupan Prancis Monsignor Ribadeau-Dumas kepada radio Europe 1.
Sebaliknya, partai sayap kanan Front Nasional menyebut keinginan umat Islam itu menggelikan dan berbahaya.
“Ada awan gelap yang menyelimuti pendanaan masjid-masjid di Prancis,” tuding partai ini dalam sebuah pernyataan.
Ia juga menuduh dukungan keuangan dari pihak asing itu bisa saja berkaitan dengan gerakan-gerakan jihad. “Jelas, ini sangat berbahaya bagi keamanan nasional,” kata Front Nasional.
Tudingan partai sayap kanan itu merupakan gambaran meningkatnya sentimen anti-Muslim di Prancis menyusul serangan berdarah terhadap kantor majalah satire Charlie Hebdo, Januari lalu.
Data menunjukkan, sepanjang Januari lalu, terjadi 167 aksi kekerasan atau ancaman terhadap masjid. Bandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencatat “hanya” terjadi 14 insiden kekerasan terhadap tempat ibadah umat Islam.
Boubakeur berharap, pertemuan tahunan organisasi Islam di Prancis ini bisa lebih menumbuhkan kesadaran umat Islam terkait keberadaan mereka di negeri ini.
“Islam di Prancis bukan lagi agama kaum imigran. Muslim punya hak untuk diakui dan dihargai oleh masyarakat Prancis, seperti halnya komunitas lainnya di negeri ini,” ujar dia.
Hal senada dikatakan Lasfar. “Kami setia pada negeri kami, Prancis. Kami cinta Allah, cinta Rasul kami, namun kami juga cinta Republik Prancis.”