REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis menjelaskan, wakaf artinya menyerahkan harta yang dimiliki yang dapat diambil manfaatnya bagi kesejahteraan umat. Syarat wakaf adalah barangnya bersifat tetap dan dapat digunakan dalam waktu jangka panjang agar manfaatnya dapat terus dirasakan oleh umat. Kata wakaf sendiri nyatanya tidak dijelaskan secara langsung, tapi tersirat.
Adapun salah satu dalil yang menjadi dasar wakaf adalah surah Ali Imran ayat 92 yang berbunyi, Kamu sekali-kali tidak sampai pada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS Ali Imran: 92).
Ayat tersebutlah yang menjadi inspirasi Sayyidina Umar untuk merelakan tanah miliknya demi kesejahteraan umat. Dan saat Sayyidina Umar mendatangi Rasulullah dan mengabarkan keinginannya untuk mengamalkan firman Allah tersebut, Rasulullah pun menjawab, `Tahanlah pokok (barang)-nya dan man faatkan hasilnya' dan perkataan Rasulullah tersebutlah yang hingga saat ini diartikan sebagai wakaf, kata Cholil saat dihubungi Republika, Selasa (6/3).
Saat masa Rasulullah, wakaf biasanya digunakan untuk pengembangan peradaban, seperti membangun Masjid Nabawi dan lembaga kesejahteraan umat. Kiai Cholil mene- gaskan, wakaf sejatinya bukan hanya berbentuk benda mati seperti Alquran atau mukena, melainkan juga lembaga kesejahteraan atau social, seperti lahan pertanian dan perkebunan. Hasilnya disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Untuk saat ini, wakaf sudah mulai diperluas menjadi beberapa jenis, seperti wakaf benda bergerak dan tidak bergerak hingga wakaf tunai. Di Indonesia sendiri, peraturan tentang wakaf dijelaskan dalam UU 41 Tahun 2002 dan PP 421 Tahun 20014, di mana wakaf barang bergerak dan tidak bergerak akan dikelola oleh Kementerian Agama dan Badan Sosial, sementara wakaf uang akan dikelola oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan badan keuangan berbasis syariah.
Kalau di Indonesia wakaf sudah cukup berkembang mulai dari wakaf uang, saham, dan barang mati hingga bergerak. Tapi, memang masih ada distorsi makna, kalau wakaf itu hanya berbentuk tanah atau benda mati saja, padahal tidak terbatas pada itu saja. Itu yang harus diluruskan, kata Kiai Cholil.