Senin 05 Mar 2018 15:58 WIB

Para Pelaut Arab Pernah Singgah di Maluku

Mereka telah mengarungi Samudra Hindia untuk mengangkut rempah-rempah.

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Keindahan panorama matahari terbit di Pulau Daga, Kepulauan Widi, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara, Sabtu (28/10).
Foto: Republika/Didi Purwadi
Keindahan panorama matahari terbit di Pulau Daga, Kepulauan Widi, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara, Sabtu (28/10).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Kepulauan Maluku, Indonesia, merupakan pemasok utama rempah- rempah sejak masa silam. Menurut Prof Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) dalam buku Sejarah Umat Islam, pasar Eropa mulai mengenal komoditas tersebut dari para saudagar Arab pada abad ketujuh.

Mereka telah mengarungi Samudra Hindia untuk mengangkut buah dan biji pala serta cengkeh dari Maluku ke Irak selatan. Kemudian, kafilah-kafilah dagang dari bangsa ini bergerak menuju kota-kota pelabuhan di pesisir Laut Tengah, utamanya Venesia (Italia). Para pebisnis Eropa terobsesi dengan hasil bumi Maluku ini karena laku keras meskipun dijual dengan harga yang amat mahal. Di Venesia, misalnya, nilai rempah-rempah diketahui bisa melonjak 1.000 persen dari harga semula di tangan pertama.

Bangsa Eropa menyebut Maluku sebagai Kepulauan Rempah-rempah (the Spice Islands). Jalur perniagaan di Samudra Hindia kemudian dinamakannya rute rempah-rempah (spice route). Adapun penamaan Maluku merujuk pada kata al- Mulk, yang dalam bahasa Arab bermakna `negeri raja-raja'. Hamka menjelaskan, ada empat kerajaan yang pernah memerintah di kepulauan tersebut, yakni Tidore, Ternate, Jailolo, dan Bacan.

Sebelum mengenal agama-agama besar dunia, elite lokal menganut keperca yaan animisme. Penyebaran Islam di Maluku kemudian diikuti penulisan sejarah tradisional yang menarasikan silsilah para ningrat. Namun, kapan dan bagaimana kiranya Islam pertama kali masuk ke daerah ini? Hikayat setempat merujuk garis keturunan raja-raja Maluku sampai pada Ja'far Shadiq, cucu Ali bin Abi Thalib RA.

Sepintas, narasi tersebut kurang meyakinkan bila menjadi acuan historiografi modern. Namun, rentang waktunya mungkin masih dapat diandalkan. Sebab, bangsa Arab pada faktanya telah terbiasa melayari Samudra Hindia hingga ke pesisir timur Cina, setidaknya sejak abad keenam.

Benedikt Koehler dalam bukunya, Early Islam and the Birth of Capitalism, mengutip pernyataan orientalis Austria, Aloys Sprenger (meninggal 1893). Dia memuji bangsa Arab sebagai perintis perdagangan dunia atau globalisasi. Pamor tersebut telah ada jauh sebelum Rasulullah SAW lahir pada 570. Kaum saudagar Arab yang berlayar di Samudra Hindia memperantarai distribusi barang- barang mewah dari kota-kota pesisir Cina dan India untuk masuk ke pasar Eropa.

Dengan daya jangkau yang demikian, patut diduga bahwa pelaut Arab telah menapakkan kaki di Nusantara ketika Rasulullah SAW masih hidup. Beberapa pakar berpendapat, orang Arab-Muslim telah sampai di Jawa tidak lama setelah wafatnya sang Khatamul Anbiya pada 632.

Hamka, misalnya, menyebutkan bahwa sekitar tahun 675 telah datang utusan dari Arab ke Kalingga, suatu kerajaan Hindu-Buddha di pesisir utara Jawa. Kemudian, utusan ini pulang ke tanah airnya untuk mengungkap taktik penyiaran Islam di negeri-negeri Melayu. Metode yang dimaksud adalah berdakwah nirkekerasan, seturut dengan pesan Al quran: Tidak ada paksaan dalam agama.

Lebih lanjut, para pelaut Arab yang singgah di Maluku sejak abad ke-10 sangat mungkin tidak sekadar membeli rempah-rempah. Beberapa dari mereka diduga bermukim di sana dan menikah dengan perempuan setempat. Namun, masih menurut Hamka, keturunannya yang ditinggal di Maluku tetap menganut animisme, alih-alih ikut menyebarkan Islam.

Narasi silsilah raja-raja Tidore dan Ternate mencantumkan nama Syahadati sebagai pemimpin Tidore yang pertama. Dia naik takhta pada 12 Rabiul Awwal 502 Hijriah atau awal abad ke-12.

Menurut Hamka, Islam menjadi agama resmi ketika Ciri Iilijati berkuasa. Dia merupakan sultan kesembilan (sumber lain menyebut: sultan ke-11) Kerajaan Tidore.

Sementara itu, raja pertama Ternate bernama Maloma. Negeri ini mengakui resmi agama Islam sejak sultan ke-19 Ternate, Zainal Abidin, berkuasa. Geliat dakwah Islam di Ternate juga dirintis Sunan Giri dari Gresik (Jawa).

Hikayat tersebut juga menuturkan silsilah raja-raja Jailolo. Pemimpin pertamanya bergelar Darajati. Kalangan istana Jailolo mulai memeluk Islam sejak zaman raja kesembilan, Hasanuddin.

Beberapa periode kemudian, pamor Kerajaan Jailolo mulai pudar akibat ekspansi Tidore dan Ternate. Kerajaan Bacan pun bernasib sama dengan Jailolo. Menurut Hamka, narasi tentang silsilah raja-raja Bacan tidak begitu lengkap sehingga sukar ditelusuri.

Selain hikayat-hikayat yang muncul di Maluku, ada pula catatan tertulis dari kitab Sejarah Melayu. Isinya menerangkan antara lain Sultan Alauddin Riayat, penguasa Malaka pada abad ke-15, me nerima kedatangan Sultan Maluku di istananya.

Dengan demikian, kurun waktu tersebut dapat dikatakan sebagai tonggak berdirinya daulah Islam di Maluku. Sumber lainnya berasal dari kesaksian penjelajah Portugis Tome Pires (meninggal 1540). Dalam karyanya Suma Oriental, dia menyebutkan Islam telah menyebar di Maluku, utamanya Banda, Hitu, Makian, dan Bacan, kira-kira 50 tahun sebelum kedatangan bangsa Portugis pada 1512.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement