REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kisah yang berikut ini akan menggambarkan kepada kita tentang keseriusan generasi sahabat untuk bertobat. Mereka sadar betul akan sanksi yang diberikan Allah SWT, jika berbuat kesalahan dan tidak segera disertai dengan penyesalan yang sungguh-sungguh.
Seperti yang pernah dicontohkan Abu Lubabah. Sahabat kelahiran Madinah tersebut dikenal memiliki pekerti yang luhur juga pemaaf. Meski demikian, sosok yang termasuk kelompok awal pemeluk Islam itu merupakan pejuang tangguh di medan perang.
Suami Khansa binti Khandam al-Anshariyah ini kerap terlibat di berbagai peperangan bersama Rasulullah SAW hingga peristiwa itu terjadi, Abu Lubabah, menurut sebuah riwayat, urung ikut dalam Perang Tabuk.
Hal ini menjadi pukulan berat baginya. Kondisi ini membuatnya harus membayar kesalahannya itu dengan mengikatkan diri lalu tidak makan atau minum selama tujuh hari berturut-turut. Ia nyaris membahayakan keselamatan nyawanya.
Riwayat lain menyebutkan, penyebab munculnya rasa bersalah yang besar dalam diri sosok yang pernah dipercaya menjaga Madinah ketika Perang Badar meletus itu, muncul ketika peristiwa pengepungan Bani Quraizhah selama 25 malam.
Dalam penyerbuan ke perbentengan Yahudi Bani Quraizhah, Abu Lubabah ikut bersama Rasul. Urusan pemerintahan Madinah selama penyerbuan tersebut dipercayakan kepada Abdullah Ibn Ummi Maktum. Pengepungan benteng Bani Quraizhah berlangsung dalam kurun waktu tersebut secara estafet. Langkah ini membuat mereka terdesak. Persediaan logistik Bani Quraizhah menipis. Kondisi meleka terimpit.
Upaya diplomasi pun akhirnya ditempuh. Bani Quraizhah mengutus delegasi menghadap ke Rasul dan meminta kepada pemimpin tertinggi umat Islam itu agar mengirimkan Abu Lubabah bin Mudzir. Abu Lubabah terpilih lantaran ia dianggap sebagai kongsi dekat mereka. Ia akhirnya berangkat atas perintah Rasul.
Sebelumnya, Rasulullah meminta pendapat mereka agar yang akan memberikan keputusan adalah Sa'ad bin Mu'adz. Begitu anak-anak dan istri-istri mereka melihat Abu Lubabah datang, mereka menangis meraung-raung, memohon belas kasihannya. Sudah tentu, Abu Lubabah sebagai manusia tidak bisa menyembunyikan rasa iba dan harunya kepada mereka.
"Kami sudah mengatakan bahwa penduduk Madinah pada umumnya berhati lembut dan berjiwa pemaaf. Kasih sayangnya kepada sesamanya sangat besar," kata mereka.
Tentu saja Abu Lubabah, sebagai manusia, terpengaruh dengan ucapan ini. Mereka bertanya, "Wahai Abu Lubabah, bagaimana pendapatmu, apakah kami akan tunduk kepada putusan Sa'ad bin Mu'adz?"
Abu Lubabah lalu mengisyaratkan kepada mereka dengan tangannya yang diletakkan ke lehernya bahwa mereka akan disembelih. Maka, ia menyuruh mereka agar tidak mau menerima.
Abu Lubabah menyadari kesalahannya. "Demi Allah, kedua kakiku belum beranjak dari tempatku, melainkan telah mengetahui bahwa aku telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya."
Ia kemudian pergi ke masjid dan mengikatkan tubuhnya pada salah satu tiang. "Demi Allah, aku tidak akan makan dan minum hingga mati atau Allah mengampuni dosaku itu," ujarnya lirih.
Tujuh hari lamanya ia tidak makan dan minum, sehingga tak sadarkan diri, kemudian Allah mengampuninya. Lalu, ada yang menyampaikan berita itu kepadanya, "Wahai Abu Lubabah, Allah telah mengampuni dosamu."
Ia berkata, "Tidak. Aku tidak akan membuka ikatanku sebelum Rasulullah datang membukanya."
Tak lama setelah itu, Rasulullah pun datang membukanya. Abu Lubabah berkata kepada beliau, "Kiranya akan sempurna taubatku, kalau aku meninggalkan kampung halaman kaumku, tempatku melakukan dosa. Dan, aku akan menyumbangkan seluruh hartaku."
Rasulullah SAW menjawab, "Kau hanya dibenarkan menyumbang sepertiganya saja." Atas sikapnya itu, wajar bila Abu Lubabah termasuk dalam kategori penduduk Madinah yang berakhlak mulia, seperti tergambar dalam surah al-Hasyar ayat 9.
“Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. " (QS al-Hasyr: 9).