REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konsitusi (MK) telah menggelar sidang Pengucapan Putusan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Perkara yang teregistrasi dengan nomor perkara 5/PUU-XV/2017 diajukan oleh pemohon Paustinus Siburian, yang merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya.
Kerugian tersebut lantaran tidak mendapatkan pembatasan yang jelas mengenai persoalan halal tidak halalnya suatu produk, baik menyangkut bahan atau proses produksinya. Sidang yang dimulai pukul 09.00 hingga 10.30 telah meluruskan jika UU JPH hanya mengatur atau mengizinkan mandatory sertifikasi halal, bukan produk halal.
Direktur Eksekutif IHW Ikhsan Abdullah menyatakan, kekhawatiran pemohon tentang ancaman produk halal tidak beralasan. "UU Nomor 3 Tahun 2014 mengizinkan atau menjual produk tidak halal, tidak masalah. Hari ini MK meluruskan karena UU tersebut karena ketidakjelasan dari permohon (Paustinus Siburian). Sertifikasi halal akan baru diresmikan pada 2019 mendatang," ujar di Gedung MK, Jakarta, Rabu (21/2).
Ikhsan menjelaskan, mandatory sertifikasi halal adalah semua makanan dan minuman wajib disertifikasi. Jika suatu produk tak mengandung bahan haram, maka mesti diberi label halal. Adapun produk mengandung bahan haram, seperti babi atau alkohol, tak wajib mengajukan sertifikasi halal sesuai Pasal 26 ayat (1) UU JPH. Dengan kata lain, produk haram tetap bisa beredar dan tak dilarang di Indonesia.
"Barang yang tidak halal boleh beredar di Indonesia, misalnya, sebagai warga negara yang tidak Muslim, boleh mau minum alkohol, mau makan babi boleh, karena UU ini tidak mandatory produk halal. Tetapi mandatory atau kewajiban sertifikasi halal. Ini yang tidak dipahami oleh pemohon, maka diluruskan oleh MK," ujarnya.
Menurutnya, sertifikasi halal bukanlah upaya Islamisasi. Sertifikasi halal justru merupakan barrier perlindungan untuk pengusaha dan produsen nasional Indonesia.
"Ini sebagai upaya melindungi dari serangan barang jasa dari luar negeri yang membanjiri Indonesia. Sebab, Indonesia adalah pasar yang besar yakni seperempat jumlah populasi dunia," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, perkara ini pertama kali disidangkan di MK pada 23 Januari 2017 lalu. Adapun, pasal-pasal yang digugat oleh pemohon adalah Diktum menimbang huruf b, Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 3 huruf a, Pasal 4, dan Pasal 18 ayat (2).
Secara lengkap, berikut lima poin yang digugat oleh pemohon. Pertama, diktum menimbang huruf b UU Jaminan Produk Halal yang berbunyi, Bahwa untuk menjamin setiap pemeluk agama untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara mewajibkan memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat.
Kedua, frase syariat Islam dalam Pasal 1 angka 2 UU Jaminan Produk yang berbunyi, Produk Halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam.
Kemudian, ketiga, Pasal 3 huruf a UU Jaminan Produk Halal yang menyatakan, Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal bertujuan: memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengkonsumsi dan menggunakan produk.
Keempat, Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal yang berbunyi, Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Selanjutnya, kelima, frase selain dalam Pasal 18 ayat (2) yang menyatakan, Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh menteri berdasarkan fatwa MUI.