Ahad 18 Feb 2018 13:29 WIB

Larangan Pendidikan Agama Bayangi Muslim Hui di Cina

Tekanan terhadap etnis Hui dari pihak berwenang jauh sama kuatnya dengan wajah Uighur

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Agus Yulianto
Muslim Cina dari kalangan etnis Hui tengah melaksanakan shalat.
Foto: AP
Muslim Cina dari kalangan etnis Hui tengah melaksanakan shalat.

REPUBLIKA.CO.ID, Bagi sebagian warga minoritas etnis Hui di Cina, larangan yang diterapkan baru-baru ini terhadap anak muda yang terlibat dalam pendidikan agama di masjid adalah gangguan atau campur tangan yang tidak diinginkan dalam cara mereka menjalani kehidupan. Ketakutan mereka yang besar adalah pemerintah Cina dapat membawa tindakan di provinsi barat laut di Gansu ini, serupa dengan beberapa yang telah digunakan dalam tindakan kekerasan terhadap Muslim Uighur di wilayah raksasa Xinjiang di barat.

Muslim Hui terintegrasi dengan baik dalam masyarakat dan terbiasa berpuluh-puluh tahun menjalin hubungan baik dengan pemerintah. Banyak warga etnis Hui telah dihadapkan dengan pemisahan atau isolasi, karena pihak berwenang telah menargetkan Xinjiang dengan peraturan darurat militer, dengan pos pemeriksaan polisi bersenjata, pusat pendidikan ulang, dan koleksi DNA massal.

Namun pada Januari lalu, pejabat pendidikan dari pemerintah daerah di daerah Guanghe, yang merupakan wilayah Muslim, melarang anak-anak menghadiri pendidikan agama selama liburan Tahun Baru Imlek. Hal itu berlangsung selama beberapa pekan sekitar hari libur umum yang dimulai pada Kamis.

Tidak jelas apakah larangan tersebut akan berlanjut setelah liburan atau tidak. Namun, larangan itu tampaknya sesuai dengan peraturan nasional baru yang mulai berlaku pada 1 Februari yang bertujuan untuk meningkatkan pengawasan atas agama. Larangan pendidikan agama terhadap anak-anak muda etnis Hui itu serupa dengan yang digunakan oleh pihak berwenang pada masyarakat Uighur.

Warga di kota Linxia, ibu kota Gansu yang disebut prefektur 'otonom' untuk orang-orang Hui, sekitar 50 kilometer ke barat Guanghe, mengatakan kepada Reuters bahwa pembatasan serupa terjadi di sana. "Kami merasa ini konyol dan tercengang," kata Li Haiyang, seorang imam Hui dari provinsi timur Henan, seperti dilansir dari Al Arabiya, Ahad (18/2).

Dalam artikel online yang beredar luas, ia mengecam kebijakan tersebut karena melanggar konstitusi Cina. Ia mengatakan, pelarangan tersebut telah disampaikan secara verbal dalam beberapa tahun terakhir. Namun, penerapannya tidak merata dan sering diabaikan. Peluncuran yang lebih kuat tahun ini menunjukkan, jika pihak berwenang sangat serius dalam hal penegakan hukum.

Pemerintah prefektur Linxia, yang mengawasi kota Linxia dan Guanghe, tidak memberikan rincian kebijakan tersebut. Namun, ia mengatakan, bahwa undang-undang Cina mewajibkan adanya pemisahan antara agama dan pendidikan.

"Manajemen urusan agama mengacu pada arahan Sinofikasi agama, dan dengan tegas menolak dan melindungi penyebaran dan infiltrasi ideologi agama ekstremis," demikian pernyataan departemen publisitas pemerintah Linxia.

Dalam pernyataannya, mereka mengatakan,  mempertahankan peraturan hukum adalah konsep terbesar dalam perlindungan agama. Sementara itu, bagian Administrasi Negara untuk Urusan Agama tidak menanggapi untuk memberikan komentar terkait hal itu. Namun, Kantor Informasi Dewan Negara mengatakan, Cina cukup menjamin hak warga negara atas kebebasan beragama berdasarkan undang-undang, termasuk anak-anak.

"Sementara melindungi kebebasan semua kelompok etnis beragama dan kepentingan hukum lainnya menurut hukum, Cina juga akan secara tegas mencegah dan melakukan tindakan keras terhadap penggunaan agama untuk melakukan kegiatan ilegal," demikian pernyataan Dewan Negara.

Tekanan terhadap etnis Hui dari pihak berwenang jauh sama kuatnya dengan wajah Uighur di Xinjiang. Yang mana, sebuah tindakan keamanan secara besar-besaran terjadi setelah serangan mematikan kekerasan etnik yang disalahkan oleh pemerintah terhadap ekstremis.

Namun, media pemerintah juga melaporkan adanya penghapusan pengeras suara yang digunakan untuk menyiarkan panggilan untuk shalat dari masjid di wilayah Hui. Kebijakan itu seolah-olah untuk mencegah kebisingan suara.

Pada April 2017 lalu, Asosiasi Islam yang dikelola pemerintah Cina mengatakan, masjid baru harus menolak 'Arabisasi' pada arsitektur masjid, dengan ukuran dan pemborosan yang berlebihan. Dalam hal ini, kebijakan itu untuk mendukung rancangan tradisional Cina.

Di Guanghe dan Linxia, antipati terhadap peraturan pendidikan meluas. "Anda tidak bisa menentangnya. anda hanya bisa mematuhi," kata Ma Shaqing (46), yang menggambarkan dirinya sebagai Muslim patriotik, mengatakan di toko barang antiknya di dekat Masjid Halal Cina yang menjulang tinggi di Guanghe.

Seorang pria lain yang baru saja melaksanakan shalat di Mesjid Baru Cina di Linxia mengatakan, pejabat setempat telah keliru menerapkan kebijakan Presiden Cina Xi Jinping. "Keluarga takut untuk mengajar anak-anak mereka untuk memiliki iman, karena takut itu akan membawa masalah pada mereka. Bagaimana tradisi budaya bisa diturunkan seperti ini?" kata Shaqing.

Citra Cina dengan komunitas Muslim yang lebih luas di seluruh dunia penting bagi Beijing, karena itu mendorong inisiatif Presiden Xi untuk "Belt and Road", guna menginvestasikan infrastruktur pembangunan bernilai miliaran dolar yang menghubungkan Asia, Eropa dan Afrika. Cina telah berusaha membuat Hui lebih sekuler, di antara sekitar 20 juta Muslim di Cina. Wajah proyek tersebut disoroti di sebuah pameran negara-negara Cina-Arab yang digelar di wilayah mayoritas etnis Hui di Ningxia pada September tahun lalu.

Seorang pria berusia 20 tahun dengan nama panggilan Zhou, mengatakan, situasi politik yang sangat tegang telah terjadi di Linxia. Ia telah belajar selama lebih dari 10 tahun untuk menjadi seorang imam di Linxia. Dan dia hanya setuju untuk berbicara dengan Reuters jauh dari gerbang masjidnya.

 

Zhou mengatakan, bahwa kekhawatiran pemerintah terhadap ekstremisme yang menyebar di antara etnis Hui adalah salah tempat. "Kemungkinan terjadinya ini hampir tidak ada, karena tak satu pun dari kita yang percaya dengan cara ini. Kami bukan ekstremis," kata Zhou.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement