Ahad 18 Feb 2018 06:11 WIB
Resensi Buku 'Assalamualaikum Calon Imam'

Perjalanan Cinta Seorang Muslimah

Dendam kepada ayah yang menceraikan ummi-nya membuat Nafisya sulit mencintai lelaki.

Perceraian (ilustrasi).
Foto: Listcrux.com
Perceraian (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,  Ketika genre novel percintaan remaja sedang kekinian, maka buku setebal 476 berjudul "Assalamualaikum Calon Imam" turut meramaikan jagat buku populer Tanah Air. Kehadirannya memang tampak berbeda karena memilih segmen yang lebih sempit ketimbang novel senada kompetitornya, yakni remaja Muslimah.

Cover buku yang dipilih pun terlampau lembut dan sangat mudah disukai oleh segmen yang dibidiknya, yakni merah muda dipadu warna krem pias dengan model perempuan berhijab memunggungi pembaca. Unik, menjadi kesan pertama bagi siapapun yang memegang novel terbitan Coconut Books yang cetak pada November 2017 itu.

Buku karya Ima Madaniah ini menjadi semakin menarik lantaran ditulis oleh remaja yang lahir di Bandung pada 24 Desember 1998. Pada usia yang masih teramat muda, Ima mampu menyajikan jalan hidup dan keresahan menemukan jodoh terbaik dalam bahasa dan kosa kata yang amat kaya.

Ima Madaniah mengisahkan tentang perjalanan seorang tokoh remaja Muslimah bernama Nafisya Kaila Akbar untuk menemukan calon imam terbaiknya. Nafisya terlahir di lingkungan keluarga yang agamis dan Islami sehingga cerita di dalamnya kental dengan filosofi ke-Islaman yang dalam.

Nafisya juga dikisahkan sebagai remaja putri yang sholehah, rajin beribadah, dan menolak untuk jatuh cinta karena tak ingin rasa cintanya kepada Tuhan berkurang sedikit saja. Penulis buku dengan nama pena Madani itu mampu menghidupkan karakter tokoh Nafisya dengan amat kuat di samping tokoh-tokoh pendukung lain yang disajikan dengan karakter yang tak kalah kuatnya, seperti Jidan, Kak Salsya, Ummi, hingga Dokter Alif.

Wajar jika buku karyanya ini telah dibaca oleh lebih dari 3 juta kali dalam versi wattpadnya.

Penuh kejutan

Novel ini menjadi sangat sulit untuk dilepaskan hingga halaman terakhir karena menyajikan jalan cerita yang penuh kejutan, menghentak-hentakkan, dan sulit ditebak. Sewajarnya novel kisah cinta monyet yang hambar, buku ini sangat jauh dari kesan membosankan.

Novel yang segera difilmkan dengan judul yang sama itu tidak sekadar menceritakan pilunya Nafisya ketika lelaki yang dicintainya, yakni Jidan justru diam-diam ingin melamar sang kakak, Salsya. Hatinya kian hancur ketika keinginan Jidan yang dicintai dan disebutnya sebagai makhluk 'marsnya' itu benar-benar mewujudkan keinginan untuk melamar, bahkan menikahi Salsya.

Novel ini juga diwarnai dengan bumbu pahitnya trauma yang harus ditanggung sang anak ketika orang tuanya harus bercerai. Hal itu pulalah yang dialami Nafisya dan Salsya hingga membuat Nafisya, khususnya, kehilangan kepercayaan kepada laki-laki. Bahkan ketika Dokter Alif hadir dalam hidupnya sebagai dosennya yang galak tetapi memesona, Nafisya benar-benar tak ingin memupuk perasaan kagumnya.

Dendamnya kepada Abi (ayahnya) yang telah meninggalkan Ummi dan menceraikannya untuk hidup bersama perempuan lain ibarat amat kesumat dan sulit bagi Nafisya untuk memaafkan pria manapun. Meski pada akhirnya, ia dibenturkan pada berbagai persoalan hidup yang membuatnya untuk kemudian dapat memahami mengapa kedua orang tuanya berpisah.

Mahasiswa Fakultas Farmasi itu pun mulai dapat menerima kehadiran kembali Abi dalam hidupnya seiring semakin intensnya pertemuan dengan Dokter Alif yang kerap kali memberikan detensi (hukuman) kepadanya karena beberapa kali tak mengerjakan tugas.

Sejatinya, siapa tak tertarik pada sosok Dokter Alif yang ganteng, cerdas, mapan, dan masih single itu. Di usia yang 29 tahun, ia menjadi idola mahasiswa di dua fakultas sekaligus; kedokteran dan farmasi. Sayangnya, Fisya tak yakin perasaannya kepada Dokter Alif adalah perasaan cinta sejati atau sekadar kekaguman seorang mahasiswa kepada dosennya.

 

Serba kebetulan pun banyak terjadi sepanjang cerita novel ini meski bukan semata kebetulan ketika Dokter Alif menyampaikan keinginan untuk melamar Nafisya. Fisya memang tidak serta merta mengiyakan karena masih terjebak dalam kegalauan panjang dan patah hati mendalam lantaran Jidan dan Salsya akan menikah dalam waktu dekat.

Sulit ditebak

Cinta dan sayangnya kepada Abi yang ternyata menderita sakit gagal ginjal (yang dirahasiakan darinya) membuat Nafisya justru meminta Dokter Alif menikahinya di hadapan sang ayah. Nafisya pun pada akhirnya mampu memenuhi harapan tertinggi sang ayah untuk bisa menikahkan putri-putrinya termasuk dirinya sebelum menghembuskan napas terakhir. Maka sebelum, perjalanan kisahnya usai di bangku kuliah ia menjalankan peran sebagai istri seorang Dokter Alif.

 

Dalam perjalanannya, Nafisya nyatanya menderita multiple sclerosis yang makin parah dari waktu ke waktu hingga ancaman kebutaan permanen.

Derita itu ia simpan rapat-rapat dari sang suami bahkan ia diam-diam mempersiapkan perceraian agar suaminya bisa memiliki kehidupan yang lebih baik dan bahagia bersama perempuan lain. Tentu saja sang dokter menolak. Nafisya tidak menyerah, ia terus meminta berpisah dengan alasan tak bahagia sampai kemudian Dokter Alif menjatuhkan talak padanya.

Kejutan lain terjadi ketika Nafisya mengalami koma akibat sakitnya yang kian parah. Bumbu-bumbu kata mutiara dan ayat-ayat Islami, baik dari hadist Nabi maupun Al-Quran mengalir deras tanpa ada kesan menggurui dalam novel ini.

Sebuah akhir yang bahagia didapatkan setelah pembaca dibuat terengah-engah dengan perjalanan penuh haru seorang muslimah bernama Nafisya.

Surat-surat cinta Nafisya untuk calon imamnya tak dipungkiri layaknya pedang yang menghujam langsung ke ulu hati. Manis, romantis, bahkan kadang menyayat hati. Sampai kemudian ia menemukan salam bukan lagi untuk calon imamnya, namun untuk imamnya yang sebenarnya.

Novel ini menjadi semakin layak untuk dibaca siapa saja yang menginginkan warna lain kisah percintaan penuh kejutan yang benar-benar tidak biasa.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement