REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Bait itu adalah penggalan senandung terkenal yang dirangkai oleh penyair terkemuka di abad kelima Masehi Addi bin Zaid al-'Ibadi. Sosok pendeta itu boleh saja hidup prarisalah Islam, tetapi petuah-petuah bijaknya masih terekam apik di khazanah sastra klasik pra-Islam.
Mencari teman, bukan hal yang mudah. Tetapi, tak berarti perkara rumit pula. Teman, seperti penegasan 'Addi adalah cermin bagi sahabatnya. Intensitas komunikasi dan pergumulan keduanya itulah yang membantuk karakter, seiya sekata.
Dalam Islam, seperti dijelaskan oleh Syekh Hayat 'Iyadi pada makalahnya yang berjudul as-Shadaqah fi al-Islam, teman memiliki peran krusial di perjalanan hidup seseorang. Teman menjadi penentu saleh tidaknya kehidupan seseorang. Sebuah riwayat dari Ahmad, mengibaratkan posisi seorang teman.
Teman menjadi tolok ukur guna menakar sejauh mana tingkat kesalehan atau kualitas keagamaannya. “Seseorang itu ditentukan oleh agama sahabatnya,” demikian sabda Rasulullah SAW.
Atas dasar inilah, hendaknya tidak sembarang memilih teman. Bergaul dengan para penjual minyak wangi maka aroma harum semerbak akan menempel. Berteman dengan peniup di dapur pandai besi maka bau asap menyengatlah yang akan didapat.
Demikian titah Rasul. Salah pergaulan hanya akan menyisakan duka dan penyeselan mendalam kemudian hari. Bila berkawan di koridor negatif, berpotensi pula menjerumuskan di jurang yang sama. Jika bersahabat dengan para saleh, atmosfer kebaikan yang sama akan kita raih.
Inilah mengapa Imam Ibnu al-Jauzi pernah menyodorkan lima kriteria sahabat sejati, yakni berakal sehat, berbudi luhur, tidak fasik, tidak suka mengada-ada, dan tidak materialistis. Bila kelima kriteria ini terpenuhi, sebut pengarang kitab al-Maudhu'at di bidang hadis itu, pertemanan dan persahabatan yang terjalin tidak hanya bermanfaat di dunia, tetapi juga di akhirat.
Syekh Hayat lantas menegaskan satu poin penting bahwa menjaga dan membina hubungan pertemanan agar tetap langgeng lebih rumit dibanding mencari teman. Ia pun berbagi beberapa kiat sederhana untuk memelihara ikatan pertemanan. Pertama, saling mengingatkan dan mengungkap perasaan hormat dan kasih sayang.
Ini seperti yang dicontohkan Rasul kepada Mu'adz bin Jabal. Kepada sahabatnya itu, Rasulullah menyatakan ungkapan kecintaannya, lalu berwasiat kebaikan. Di kesempatan itu, Muadz mendapat wejangan supaya konsisten berzikir dan bersyukur.
Kedua, bersikap rendah hati di hadapan teman. Hargai selalu pendapatnya. Berusaha tampil sebagai pendengar setia. Tidak meremehkan pendapat dan keluh kesahnya. Ini kunci penting. Rasulullah pun meminta kepada para sahabatnya supaya tidak berlebihan mengagung-agungkan, melebihi batas kerasulannya. Rasul menegaskan, dirinya hanya seorang hamba dan utusan Allah SWT. “Saya (hanya) Muhammad, putra Abdullah,” tegas Rasul. Ungkapan itu tak lain adalah bentuk sikap tawadhu yang dimiliki oleh Muhammad SAW.
Ketiga, ajak selalu bermusyawarah. Minta pendapatnya. Ini sebagai bentuk pengakuan sekaligus penghargaan atas eksistensi teman. Konon, Rasul, seperti yang dinukilkan oleh kitab sirah, adalah sosok yang kerap meminta pendapat dan mengajak para sahabatnya untuk bermusyawarah. Rasulullah pernah pula menyuruh Abu Bakar dan Umar bin Khatab untuk menggelar musyawarah. “Ini supaya kalian tidak berselisih,” sabda Rasul.
Keempat, senantiasa melandasi pertemanan dengan ketulusan dan rasa ikhlas, jujur apa adanya. Tidak ada udang di balik batu. Ketulusan itulah yang mengantarkan seorang teman ringan membantu sahabatnya, baik suka ataupun duka. Imam Muhammad bin al-Munkadar pernah bertutur, menolong sahabat adalah kebahagiaan yang tiada tara. “Tak ada kenikmatan dunia yang tersisa kecuali membantu sesama teman,” ungkapnya.