REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Munculnya geliat perekonomian Islam mendorong perhatian sejumlah kalangan dan cedekiawan Muslim dan Barat untuk kembali mendiskusikan tentang korelasi antara Islam dan kapitalisme serta penegasan jenis hubungan antarkeduanya.
John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern memaparkan, secara eksplisit Alquran mengungkapkan nilai ekonomi di luar kepemilikan pribadi, kejujuran dalam perniagaan, dan persaingan yang diwarnai oleh kepedulian kepada pihak yang kurang beruntung.
Namun, perdebatan modern terkait konsep ekonomi Islam berputar pada tiga bahasan, yaitu yang pertama terkait argumentasi Barat bahwa Islam penghalang kapitalisme. Kedua, secara berangsur-angsur para penulis Muslim dan Barat bertemu dalam pandangan Islam mendukung sejenis kapitalisme. Ketiga, kaum modernis Islam memadukan beragam teori ekonomi dan program religius untuk melukiskan Islam sebagai alternatif unggul.
Untuk poin yang pertama, baik cendekiawan Barat atau Muslim sepakat Islam tidak selaras dengan kapitalisme. Para orientalis cenderung memandang Islam secara inheren kontradiktif dengan kepitalisme. Ini sebagai akibat adanya doktrin-doktrin dasar dan tidak dapat diubah, seperti fatalisme, akhirat, dan sangsi bagi para pelanggar riba, misalnya.
Teori yang disuguhkan oleh para ilmuwan sosial lain lagi. Mereka memusatkan perhatian pada ketegangan situasional dan mungkin temporer antara Islam dan kapitalisme. Menurut mereka, ketegangan antarkeduanya itu terkait dengan struktur dan kondisi historis tertentu, seperti feodalisme, sultanisme, dan imperalisme. Mereka lebih menekankan sisi sejarah, bukan Islam sebagai sebuah muatan etis.
Karena itu, mengacu pada sejarah tersebut, para ilmuwan sosial berkesimpulan, tak mengherankan bila umat Islam tertinggal dari yang lain soal pengumpulan kekayaan pribadi. Penghambat paling serius terhadap kapitalisme tersebut, dalam pandangan mereka, ialah landasan tak ramah institusi politik, sosial, dan ekonomi yang menghalangi wiraswastawan, tak soal bagaimana derajat kesalehan mereka.
Pada poin perdebatan yang kedua, sejarawan ekonomi mulai mengalihkan pedebatan ke arah yang baru, yakni mereka tidak hanya berpendapat bahwa kapitalisme di dunia Islam lebih maju dan menyebar dari yang diduga. Tetapi juga, bahwa Islam itu sendiri selayaknya dihargai karena prestasi-prestasi ini.
Kapitalisme dagang yang bergelora menghubungkan kota-kota besar di Asia dan Afrika dalam jaringan antarbenua yang merentang dari Jalan Sutra hingga Pantai emas, dari Sahara hingga Kepulauan Spice, dari Laut Hitam hingga Tanjung Harapan.
Ini memberikan konsekuensi bahwa kaum Muslim juga berbudaya kosmpolitan. Di wilayah-wilayah non-Arab, pedagang sufi menjadi perwujudan peradaban islam internasional yang mempersatukan agama dan perdagangan, kota, desa, mistisisme sederhana, dan ortodoksi yang luwes.
Para sejarawan dan ahli eknomi sering berpendapat bahwa berkembangnya perdagangan internasional dapat memajukan revolusi industri di seluruh dunia Islam seandainya Muslim mampu menahan serangan gencar imperalisme Eropa.
Dari sudut pandang ini, penghalang kapitalisme bukan kelemahan inheren pemikiran Islam atau kekuatan institusi yang ketinggalan zaman, melainkan kekuatan persenjataan dan ketamakan Barat. Di banyak negara, serbuan komersial dan kolonial Eropa telah menghancurkan kerajinan dan manufaktur pribumi.
Dan, pusaran perdebatan yang terakhir, yaitu bahwa Islam menjadi alternatif sistem perekonomian selain kapitalisme. Ini karena kapitalisme lebih diidentikkan dengan dominasi asing dan kehilangan sebagian daya tariknya di hadapan kaum Muslim. Perekonomian Islam yang autentik dan lebih koheren dapat mengungguli kapitalisme pada masa mendatang. Ini memuncak dan menggeliat terutama selama periode melimpahnya minyak pada 1970-an.