Rabu 07 Feb 2018 08:06 WIB
Sunat Perempuan (3-Habis)

Sunat dan Istilah Ofensif Itu

Biasanya, sunat dilakukan perempuan menjelang hari pernikahannya.

Rep: Siwi Tri Puji B/ Red: Agus Yulianto
Sunat bisa mengurangi risiko human papilommavirus (HR-HPV) sebesar 32 persen menjadi 35 persen. Juga mengurangi risiko HR-HPV untuk pasangan wanita berkurang sebesar 28 persen (Ilustrasi)
Foto: ist
Sunat bisa mengurangi risiko human papilommavirus (HR-HPV) sebesar 32 persen menjadi 35 persen. Juga mengurangi risiko HR-HPV untuk pasangan wanita berkurang sebesar 28 persen (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Di Afrika, gerakan menentang pelarang an sunat perempuan kembali mengemuka. Salah satunya dimotori Tatu Kamau, dokter yang juga pernah memegang sejumlah jabatan di Kementerian Kesehatan Kenya. Bahkan, ia membawa kasus ini ke Mahkamah Agung, dengan tudingan ratifikasi pelarangan sunat perempuan yang diteken pemerintah pada 2011 sebagai tidak konstitusional dan turut menyunat "warisan sejarah bangsa".

Menurutnya, persoalan sunat perempuan adalah area personal dan karenanya negara tak berhak ikut campur. "Sama seperti halnya keputusan untuk merokok atau masuk tentara- sama-sama berisiko untuk nyawa mereka- maka biarkan perempuan yang memutuskan sendiri apakah akan melakukan sunat atau tidak," katanya, seperti dikutip The Guardian.

Di Kenya, sunat perempuan adalah bagian tradisi. Biasanya, sunat dilakukan perempuan menjelang hari pernikahannya. Calon mempelai akan pergi ke apotek untuk membeli pisau sekali pakai, antibiotik, dan obat-obatan antitetanus sebelum membawanya ke dukun sunat.

Seiring dengan tekanan dunia internasional, pemerintah Kenya melarang praktik yang sudah berlangsung selama berabad-abad ini pada 2011. Sejak itu, sunat perempuan dianggap sebagai praktik ilegal dan pelakunya atau membantu melakukannya terancam pidana, mulai dari denda 200 ribu shilling Kenya (setara Rp 26,1 juta) hingga penjara seumur hidup. Kendati begitu, sunat perempuan masih dilakukan secara diam-diam di beberapa wilayah di Kenya, terutama di kalangan masyarakat Kisii, Maasai, Samburu, dan Somali.

Hal yang sama ditegaskan antropolog keturunan Sierra Leone-Amerika, Fuambai Ahmadu. Menurutnya, yang digambarkan barat dalam sunat perempuan terlalu berlebihan. "Hal ini menggiring opini banyak orang bahwa sunat adalah tradisi barbar" dan bentuk kekerasan terhadap perempuan," katanya, seperti dikutip Anthropology Today.

Ia menyatakan, sunat bagi perempuan adalah bagian dari tradisi masyarakat Afrika, tanpa melihat latar belakang agama. Karenanya, pendekatan terhadap sunat semestinya melalui pendekatan budaya, bukan kesehatan atau standar nilai bangsa lain. "Sunat bukanlah efek negatif yang penting pada kesehatan Anda seperti halnya tidak bisa menghambat hasrat seksual wanita," katanya.

Menurutnya, mutilasi genital untuk menyebut tradisi sunat bagi perempuan di Afrika adalah istilah yang "ofensif, memecah belah, merendahkan, penuh kebencian, dan sama sekali tidak perlu." Ia menyamakannya dengan sebutan 'negro' untuk bangsa kulit hitam. "Biarkan mereka yang memutuskan apakah akan menghentikan tradisi itu atau tidak, bukan rembug budaya di luar mereka," katanya.

Ketimbang melarang, katanya, yang lebih penting adalah mengawasi agar praktik itu dilakukan secara higienis sesuai kaidah medis untuk menghindari infeksi. "Keputusan perlu atau tidaknya tradisi sunat dipertahankan, biar kan masyarakat yang memutuskan," katanya. Ahmadu menilai, menghilangkan stigma mutilasi dan perlakuan setara terhadap semua anak perempuan tidak peduli penampilan genitalia atau latar belakang budayanya justru lebih penting.

Namun, satu yang harus digarisbawahi, adalah bahwa praktik ini kerap dilakukan terhadap anak-anak di bawah usia lima tahun, seperti banyak dijumpai di suku-suku tertentu di Kenya dan beberapa belahan Afrika. Pada usia ini, jelas mereka tak memiliki posisi tawar.

"Larangan ini adalah dukungan bagi anak perempuan untuk menolak praktik yang sering dipaksakan oleh orang tua atau tetua adat mereka," kata Josephine Carlsson dari Feed the Minds, lembaga nirlaba yang aktif menyuarakan penghentian praktik sunat perempuan di Kenya. "Sama seperti hak-haknya, tubuh wanita harus dihargai dan dihormati."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement