REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada masa lalu, Mali pernah menjadi salah satu pusat peradaban Islam. Saat ini pun, Islam masih kental mewarnai denyut nadi kehidupan warganya. Sayangnya, pada saat yang sama, negara di sub-Sahara Afrika ini juga sedang didera gejolak politik.
Berlokasi di Afrika Barat, Mali menjadi negara yang diapit daratan dan Sahara. Negeri yang beribu kota di Bamako tersebut bertetangga dengan Pantai Gading, Aljazair, Nigeria, Burkina Faso, Guinea, Senegal, dan Mauritania. Muslim di negara seluas 1,24 juta kilometer persegi tersebut mencapai 12 juta jiwa atau sekitar 92,5 persen dari total penduduk 14,5 juta jiwa.
Sebagai umat mayoritas, Muslimin Mali hidup damai. Mereka sangat toleran pada penganut agama lain. Hubungan stabil tanpa ketegangan pun ditemukan antarpenganut agama.
Mereka saling berkunjung menghadiri perayaan pernikahan ataupun kematian. Kepercayaan tradisional pun telah berakulturasi dengan baik sehingga budaya Islam dan budaya asli setempat tak mengalami bentrok atau perselisihan.
Seperti halnya di negara Afrika lain, Muslimah Mali pun umumnya tak mengenakan jilbab sebagaimana dikenakan oleh Muslimah di Timur Tengah atau Asia Tenggara. Biasanya mereka mengenakan kerudung yang dililit menutup kepala dan rambut, tapi dengan leher tetap terbuka. Itulah penutup kepala khas Muslimah Afrika.
Sejak dulu, Mali dikenal memiliki peradaban Islam yang tinggi. Banyak situs peninggalan peradaban Islam yang kini dijadikan situs warisan dunia oleh UNESCO. Peradaban Islam itu masuk ke Mali mulai abad kesembilan.