REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masjid Gedhe Kauman didirikan pada 29 Mei 1773 atau 6 Rabiul Akhir 1187 H. Pemrakarsanya adalah Sri Sultan Hamengku Buwono I dan Kiai Penghulu Faqih Ibrahim Diponingrat. Sementara, sisi arsitektur ditangani oleh Kiai Wiryokusumo.
Berdiri di atas lahan seluas 4.000 meter persegi, masjid ini memiliki luas bangunan 2.578 meter persegi. Selain ruang shalat utama yang terhampar seluas 784 meter persegi dan serambi 1.102 meter persegi, masjid ini memiliki sejumlah ruang, yakni ruang yatihun (ruang transit ulama), pawestren (tempat shalat putri), pawudhon (tempat wudhu), pebongan gedung kuning (perpustakaan), Ar Raudah (ruang perawatan jenazah), dan kamar mandi. Tempat ibadah ini juga dilengkapi dengan halaman dan kolam.
Sultan juga membangun fasilitas untuk pengurus masjid yang disebut pengulon (tempat penghulu). Letaknya, di sisi utara masjid. Fasilitas ini berupa perumahan yang diperuntukkan bagi penghulu Keraton dan keluarganya. Sedangkan, bagi ulama (khatib), modin (muazin), marbot, abdi dalem pametakan, abdi dalem kaji selusinan, abdi dalem banjar mangah diberi fasilitas yang disebut pakauman (tempat para kaum). Tempat ini kemudian dikenal dengan nama Kampung Kauman.
Bangunan Masjid Gedhe Kauman mengaplikasikan gaya arsitektur tradisional Jawa yang sarat filosofi. Atap masjid berbentuk tajuk lambing teplok. Berwujud atap bertingkat tiga, bentuk ini mengandung arti bahwa setiap orang yang ingin mencapai kesempurnaan hidup, baik di dunia maupun akhirat, harus dapat melampaui tiga tingkatan, yaitu hakikat, syariat, dan makrifat.
Ruang utama ditopang 36 tiang yang terbuat dari kayu jati Jawa utuh (tanpa sambungan). Ada empat saka guru (tiang utama) dengan ketinggian masing-masing 12 meter. Berdasarkan hasil penelitian, tiang ini sudah berusia 400-500 tahun. Dinding masjid ini terbuat dari batu putih, sedangkan lantainya berbalut marmer buatan Italia.
Di ruang utama ini, terdapat mihrab dan mimbar khatib yang mirip dengan singgasana raja. Berhias ukiran kayu berlapis emas, mimbar tampak mewah dan elegan. Sebagai masjid keraton, tempat ibadah ini memiliki maksura atau tempat sultan dan keluarganya melaksanakan shalat berjamaah.
(Baca: Tradisi dan Syiar Islam di Masjid Gedhe Yogyakarta)