Ahad 04 Feb 2018 05:30 WIB

Pedoman Bercanda dalam Islam

Bercanda dalam Islam tidak diperbolehkan mengandung unsur mencela.

Rep: Rahmat Fajar/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi humor sufi Nasrudin Khoja.
Foto: Kampunglucu.com
Ilustrasi humor sufi Nasrudin Khoja.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Syekh Muhammad Al Farabi dalam kajian "Ber canda Masa Gitu" di Masjid Agung Al Azhar, Ke bayoran Baru, Jakarta Selatan, belum lama ini, menjelaskan bagaimana Islam memberikan pedoman dalam bercanda.

Ia menyinggung fenomena bercanda akhir-akhir yang berlebihan yang tidak dianjurkan dalam Islam. Karena itu, ia mengingatkan supaya menghindari hal yang berlebihan. "Dulu zaman Nabi ada bercanda. Dalam Islam ada istilah ifrath (segala pekerjaan yang berlebihan) dan Tafrith (kurang, lesu dalam ibadah lesu itu tidak baik). Islam datang istilah wasath (tengah-tengah)," kata Al Farabi.

Islam tidak selalu menyajikan hal yang serius, tapi juga tidak selalu bercanda. Itu sebabnya dunia Islam juga terdapat kesenian dan mengakomodasi istilah-istilah kesenian. Al Farabi menegaskan, Islam tidak hanya fokus kepada akidah dan fikih, tapi juga ada hal tertentu yang membuat rileks.

Hal tersebut yang dimaksud Al Farabi bahwa Islam mengajarkan tentang istilah wasath (tengah-tengah), yaitu tidak terlalu keras, tapi juga tidak lesu. Dalam istilah Arab, tutur Al Farabi, bercanda dikenal dengan sebutan Muzah. Kendati demikian, bercanda dalam Islam tidak diperbolehkan mengandung unsur mencela.

"Mencela dalam Islam meregangkan sendi-seni kehidupan. Bercanda tidak ada unsur penghinaan. Itulah bercanda yang sesuai dengan Islam," ujar dia.

Fenomena komika yang tersandung masalah akhir-akhir ini, kata Al Farabi, harus menjadi pelajaran bagi mereka untuk kedepannya agar lebih baik. Bercanda dalam Islam bisa menjadi rujukan dalam menyampaikan materi lawakannya.

Menurut Al Farabi, Islam menawarkan dua syarat bagi mereka yang berprofesi komika atau siapa pun yang sering bercanda.

Dua syarat tersebut, yaitu mereka harus menyampaikan materi yang tidak mengandung unsur kebohongan. Ke mudian mereka juga wajib menghindari materi yang merendahkan, memarginalkan atau menghina Islam.

"Jadi, harus ada dua syarat yang dikawal itu agar tak kebablasan," ujar Al Farabi.

Rasulullah SAW dalam hadis Ibnu Umar mengatakan bahwa dirinya menyukai humor. Namun, apa yang disampaikan tidak mengandung unsur kebohongan. Rasulullah juga bersabda bahwa mereka yang membuta materi candaannya dengan unsur kebohongan adalah orang-orang celaka. Allah juga sudah mengultimatum agar mereka membuat lawakan yang mencerdaskan. Dalam kesempatan itu, Al Farabi menyebutkan beberapa kisah tentang candaan Rasulullah.

Salah satu contohnya, yakni seorang nenek yang mendatangi Rasulullah. Nenek tersebut meminta kepada Rasulullah agar mendoakan dirinya masuk surga. Rasulullah menjawab permintaan nenek tersebut. "Oma, sesungguhnya surga tidak akan dimasuki oleh neneknenek,". Nenek tersabut lalu menangis dan pergi setelah mendengar jawaban dari Rasulullah.

Rasulullah kemudian mengejar nenek tersebut dan menjelaskan jawabannya. Rasulullah menjelaskan bahwa semua penghuni surga akan berusia muda. Menurut Al Farabi, jawaban Ra sulullah tersebut merupakan candaan, tapi tidak ada unsur kebohongannya. Al Farabi meminta kepada umat Islam agar meningkatkan kemampuan bahasa Arab. Pasalnya, mereka yang memahami bahasa Arab akan banyak menemukan humor-humor dalam Islam serta merasakan sensasinya.

Dia juga mengingatkan agar memperhatikan rambu-rambu saat menik mati humor. Ia mengatakan Rasulullah selalu tersenyum (tabassum) ketika me nikmati materi-materi humor. Terse nyum sendiri mengandung makna menyejukkan.

Al Farabi mengingatkan agar kaum Muslimin untuk tidak terlalu banyak tertawa (dhahik). Sebab Al Farabi menilai terlalu banyak tertawa dapat mematikan hati. Umat Islam juga dianjurkan agar menghindari qahqahah (terbahak-bahak) karena hal tersebut datang dari setan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement