REPUBLIKA.CO.ID -- Pada sebah pagi, saya mendapat telepon di tengah minggu dari seorang teman saya. Kupikir lebih baik membiarkannya berdering dan menelepon kembali saat aku kurang memikirkannya. Lagi pula, aku tinggal di daerah kumuh Karachi yang kasar dan berantakan.
Dia berasal dari kota kecil Nagarparkar, di distrik Tharparkar timur, di mana tugas dan tanggung jawabnya tidak mungkin terlalu melelahkan. Kami orang urban memiliki bakat untuk pola pikir semacam itu.
Nama penelpon itu Magan Rajiv. Dia menikmati hidup dengan mengemudikan kekra-nya (sebuah kendaraan militer yang telah dikonversi dari era Perang Dunia II yang terlihat seperti sebuah jip) di sepanjang perbatasan Pakistan-India. Dia membawa wisatawan berkeliling di sekitar tempat-tempat tersembunyi yang ditawarkan Tharparkar.
Magan telah memanggilku dengan kehangatan dan perhatian yang mendasar. Saya tahu ia bisa bersantai sejenak bila lujan telah berakhir dengan baik dan benar, dan wisatawan telah berhenti mengunjungi kota tersebut.
Disela itu dia harus menjalani perbaikan pada kekra-nya meski dia tidak punya uang lagi. Dia hidup serta berada di antara batu dan tempat yang keras. Inilah yan membuat saya merasa sedih dengan keadannya.Ini karena kami berasal dari lapisan masyarakat, namun mencoba mempertahankan persahabatan meski itu melawan banyak rintangan. Badimapaun harus membantu.
******
Saya pertama kali bertemu Magan pada bulan Agustus, 2015. Hari itu adalah akhir pekan panjang Hari Kemerdekaan. Untuk itu saya rasa ini cara yang lebih baik untuk merayakan kelahiran bangsa ini dengan bersamanya berada di wilayah perbatasan.
Selama delapan jam kami menempuh perjalanan dari Karachi.Dan kami melihat perubahan pemandangan dari kompleks apartemen dan jalan lingkar, ke pemukiman kumuh kumuh dan kota kumuh, dan akhirnya sampai ke hamparan lahan pertanian yang kaya. Di sana ada tanaman seperti gandum, beras, tebu dan kapas, bersama dengan tanaman hortikultura besar seperti mangga, pisang, dan cabe.
Lembah dan pertanian di Tharphakar.
Sebagai usaha musiman, beberapa tanaman ini telah digantikan oleh perkebunan musim. Saat kami bergerak lebih jauh ke timur dari Karachi, perubahan pun ini surut mengalir sampai kami tiba di Distrik Tharparkar. Pemandangan tiba-tiba berubah. Butiran pasir cokelat muda berputar-putar di udara yang seolah-olah untuk menggambarkan sebuah ritus perjalanan. Saya paham tanah di sini tidak semua bukit pasir. Namun hujan Tharparkar yang terkenal itu telah mengubah lansekap yang tandus dan sepi, ke dalam hamparan pohon kaktus serta imbs akasia yang hijau dan subur.
Dan kini tanah itu menjadi sangat subur karena telah direndam dalam hujan sehingga membuat dirinya matang untuk merumput bagi lebih dari 4,5 juta ternak — berupa keledai, unta, kambing, sapi, domba yang kuat . Jadi inilah rupanya sumber utama penghidupan bagi populasi warga Tharparkar. Selain itu, burung merak juga bisa terlihat berkeliaran di puncak bukit, Semua mencari rezeki dibantu oleh hujan.
****
Setekah iitu, kami berbelok di Mithi, ibu kota distrik Tharparkar. Di sini merupakan sebuah lokasi yang nyaman untuk kami untuk menikmati roti dan beristirahat malam ini, sebelum perjalanan yang dinanti-nantikan ke Nagarparkar pada keesokan harinya.
Candi di Tarphakar.
Namun, saat fajar menyingsing rupanya tidak ada panggilan untuk sholat dari muazin. Sebab yang ada hanyalah suara gong dari kuil. Dan sayangnya pula pihak Pakistan sudah selama bertahun-tahun menyingkirkan kelompok minoritas agama ini melalui kefanatikan institusional dan sosial. Namun, Tharparkar sebagai sebuah distrik dengan kehadiran umat Hindu yang besar. Wilayah itu adalah perbatasan terakhir dimana narasi dan penerimaan keberagamaan masih ditemukan.
Setekah lama pergi, kami sampai di jalan yang berangin. Kami pun menyusuri jalan raya dan aneka bangunan yang didirikan dengan baik oleh karena perusahaan swasta. Di situlah terasa ada perasaan yang pahit karena Tharparkar menjadi daerah yang kaya akan batu bara dan sumber daya alam lainnya. Temat itu ternyata kini telah menjadi kapitalisme secara nyata. Maka jalan-jalanlah yang dibangun serta rumah-rumah sakit bersinar, tapi orang-orangnya sendiri terlihat rusak.
Korporasi kini telah mendorong pergi banyak penduduk lokal dari tanah asal mereka sekaligus memindahkan mereka ke daerah-daerah terpencil di distrik tersebut, atau ke wilayah lain di negara ini. Tanah ini tidak hanya memiliki konotasi leluhur lagi, namun membiarkan adanya praktik-praktik pertanian progresif, meski sambil mencoba mempertahankan rasa identitas.
Akibatnya banyak dari perusahaan-perusahaan itu mengambil jalan pintas. Alih-alih melibatkan masyarakat, mereka pun bertransaksi langsung dengan para feodal. Oleh karena itu, Tharis kehilangan sebagian identitas mereka, tanpa memiliki lagi alasan dalam masalah ini.